div.fullpost {display:none;} div.fullpost {display:inline;}

Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia, Dari Zaman ke Zaman

Posted by : Haki Rambu Anarki | Jumat, 09 April 2010 | Published in


Oleh: Amir Baihaqi

Sejarah Gerakan Mahasiswa dan perkembangannya sebenarnya telah lama ada sejak zaman kolonialisasi, pergerakan yang selalu dimotori oleh kaum muda dan terdidik ini tidak banyak berbeda dengan gerakan mahasiswa di belahan dunia lainnya. Semangat pemuda dan kaum terdidik ini selalu meledak-ledak yang selalu menuntut perubahan ke arah yang lebih baik. Lahir dari kondisi obyektif, gerakan mahasiswa selalu sesuai dengan konteks zamannya. Munculnya tradisi diskusi dan kelompok-kelompok (club) diskusi ternyata membawa mereka pada tindakan yang lebih kongkret. Kondisi obyektif masyarakat telah membawa dampak pada terbentuknya club diskusi, organisasi, perkumpulan dan kesatuan-kesatuan yang selanjutnya mewadahi gagasan revolusioner mereka. Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 

1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa. 

Ketiga syarat tersebut mencerminkan: 
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis. 

Dari penjelasan di atas bahwa nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa tentunya sangat berbeda dengan organisasi lainnya, karena selain dituntut untuk paham dan mengerti pesoalan-persoalan rakyat. GM (Gerakan Mahasiswa) juga secara tidak langsung mendapat penempaan kecakapan dalam mengolah dan mengorganisir massa.

Perkembangan Gerakan Kaum Terpelajar Era Kolonialisasi.

Tidak ada yang tahu persis kapan tonggak sejarah GM di Indonesia lahir. Namun kaum-kaum terpelajar di STOVIA pada tahun 1915 telah memulai gerakan-gerakan mereka dengan mendirikan TRIKORO-DARMO, yang selanjutnya di ikuti dengan berdirinya organisasi-organisasi kedaerahan seperti jong java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb. Konsolidasi baru tercipta ditahun 1930 dengan berdirinya IM (Indonesia Moeda). Gerakan-gerakan kaum terpelajar ini bukanlah tanpa halangan dan mengalami masa-masa sulit. Karena mereka harus face to face dengan rejim kolonial Belanda yang merepresif, belum lagi dengan situasi yang terjadi pada waktu itu ketika zaman pergerakan mengalami kelumpuhan setelah pemberontakan PKI tahun 1926/27 serta pemogokan-pemogokan kaum buruh. Namun lumpuhnya kondisi itu semakin menguatkan orientasi mereka untuk anti-kolonial, yang termanifestasi dengan berdirinya studie-studie club alternatif serta perkumpulan pelajar dan pemuda kedaerahan yang masih tersisa sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.  

Pada masa pendudukan Jepang, banyak organisasi-organisasi pemuda yang dibubarkan dan pemuda-pemudanya dipaksa untuk memasuki organisasi bentukan Jepang yang tak lain untuk kepentingan Jepang dalam perang Asia pasifik. Pemuda-pemuda itu dimasukan dalam organisasi seperti Seinen dan Keibodan (Barisan Pelopor), PETA (Pembela Tanah Air), HEIHO, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dll, tentunya mereka mendapatkan didikan untuk kepentingan fasisme Jepang. Namun dalam masa pendudukan Jepang ini bukan berarti gerakan pemuda hilang sama sekali. Munculnya Gerakan Bawah Tanah (GBT) ternyata banyak juga dilakukan oleh pemuda-pemuda dengan mengadakan rapat-rapat gelap dan aksi penyebaran-penyebaran pamflet berisikan sikap mereka yang anti terhadap fasisme Jepang. Yang menarik disini, gerakan bawah tanah juga dikombinasikan dengan gerakan kooperatif golongan Soekarno.

Gerakan Bawah Tanah dan gerakan legal kooperatif Soekarno pada akhirnya tidak banyak membuahkan hasil sampai kekalahan Jepang pada sekutu. Pertentangan dan konflik yang telah lama antara kaum bawah tanah yang banyak diwakili pemuda dan golongan tua Soekarno memuncak ketika terjadi peristiwa penculikan yang mendesak agar Soekarno segera memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Peranan dalam Menumbangkan Rejim Soekarno

Ada yang bilang bahwa gerakan mahasiswa lahir karena momentum. Dimasa demokrasi liberal atau orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno mahasiswa sebenarnya kurang memberi pendidikan politik yang berarti bagi mahasiswa setelah masa transisi pada momentum pra dan pasca kemerdekaan. Pada masa itu pemuda dan lassar-laskar pelajar banyak berperan penting dalam perlawanan menghadapi sekutu dan pelucutan senjata tentara Jepang. Dalam demokrasi liberal mahasiswa mempunyai momentum yaitu pemilu ditahun 1955, banyak berdiri organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai politik, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI. 

Keterlibatan organisasi kemahasiswaan praktis terseret dalam politik praktis yang banyak mempunyai hubungan-hubungan khusus dengan administrator pemerintah khususnya pihak militer, jadi tidaklah heran jika kolaborasi mereka sangat dekat. Puncaknya adalah ketika aksi-aksi mahasiswa menentang dan menumbangkan rejim Soekarno. 

Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat.




Munculnya Orde Baru

Kolaborasi dengan militer (Angkatan Darat) dalam menggulingkan orde lama dengan harapan orde baru dapat memperbaiki keadaan ternyata salah besar dan sebelum tahun 1970, beberapa aktivis yang sadar akan kekeliruan ini antara lain Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib karena terpisah dari kekuatan rakyat tapi lebih tergabung dalam kekuatan-kekuatan militer pada waktu itu. Terang saja orde baru, di bawah kepemimpinan jenderal Soeharto yang militeristik itu mengeluarkan UU pertama yaitu UU PMA yang notabene menjadi pintu masuk pemodal asing dan saat itu juga Indonesia resmi menjadi Negara yang bermahzab liberalisme/kapitalisme, yang di bawah Soeharto disamarkan dengan kata pembangunanisme (developmentalism).

 Namun kesadaran dari para aktivis-aktivis itu ternyata masih belum bisa menjadi pelajaran dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka. Gerakan dan aksi-aksi mereka cenderung lebih reaksioner dan selalu mengalami kegagalan, yang disatu sisi orde baru telah menjadi kekuatan yang represif dalam menindak aksi-aksi mahasiswa. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat dan terkesan reaksioner.

Pasca peristiwa Malari (Malapetaka Januari), orde baru yang sadar akan potensi mahasiswa dengan gerakannya ditahun 1974 langsung mengeluarkan UU NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) melalui Menteri Pendidikan waktu itu Moch Daud Jususf. Praktis gerakan-gerakan mahasiswa dan segala aktivitas mendapat pengawasan dan kekangan yang luar biasa dari pemerintah yang tak segan-segan menangkap dan merepresif mereka.

Aksi-aksi bawah tanah dan keluar dari kampus mau tidak mau harus mereka lakukan dengan meninggalkan bangku-bangku kuliah mereka untuk menghindari represifitas aparat yang semakin menjadi-jadi.

Tahun 1980an menjadi titik balik kebangkitan gerakan mahasiswa dalam menggalang lagi budaya diskusi dan kritis menyikapi kebijakan pemerintah yang terkadang sewenang-wenang dan tidak ada yang berani mengkritisi karena tekanan militer yang siap menggasak siapapun yang dianggap mengganggu stabilitas pembangunan. Tawaran belajar ke luar negeri beberapa tokoh-tokoh mahasiswa karena alasan untuk menyiapkan teknokrat-teknokrat yang diharapkan menjadi pendukung paham pembangunan orde baru ternyata membawa dampak yang sebaliknya menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan bagi orde baru itu.

Puncaknya adalah aksi turun ke jalan besar-besaran di Ujung Pandang dengan aksi jalan (long march) dan massa yang lumayan besar menentang kebijakan-kebijakan peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi dapat dihentikan dengan membawa korban jiwa hasil dari represitas aparat. Meski dapat dihentikan, Ujung Pandang secara tidak langsung telah memberikan semacam trend baru dengan aksi2 turun ke jalan sebaga bentuk protes mereka walaupun mereka harus berhadapan langsung dengan aparat.
Alhasil dalam kurun tahun 1987 sampai akhir tahun 1997/98, banyak aktivis yang terbunuh dan hilang diculik sampai sekarang.

Momentum krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, dan pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo telah membuat perekonomian Indonesia berguncang yang mengakibatkan kondisi tidak stabil. Momentum inilah kemudian menjadikan kontradiksi di rakyat yang secara langsung mengalami kesulitan-kesulitan. Sedangkan gerakan-gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah tergabung dengan kekuatan rakyat semakin hari hari semakin berani dengan aksi-aksi mereka meski terkadang jatuh korban jiwa akibat represifitas penembakan-penembakan yang dilakukan aparat.geliat mahasiswa juga sedang bangkit-bangkitnya hampir di setiap pojok kampus mahasiswa pasti membicarakan keadaan Indonesia, kondisi yang dahulu apatis dan apolitis menjadi berubah secara frontal.

Puncaknya adalah ketika terjadi peristiwa Trisakti yang mengakibatkan tiga mahasiswanya tewas akibat terjangan peluru aparat. Peristiwa itu menimbulkan reaksi yang luar biasa dari rakyat dan berujung dengan kerusuhan di beberapa kota khusunya di Jakarta yang berakhir dengan penjarahan, pembakaran dan pemerkosaan di kota-kota besar. Semakin menemukan titik ternag bahwa Soeharto sebagai public enemy membuat gerakan-gerakan mahasiswa yang sudah terlanjur bergabung dengan potensi-potensi rakyat tak terbendung dan pada tanggal 21 Mei Soeharto tak kuasa untuk bertahan dan akhirnya mundur, yang disambut dengan gegap gempita rakyat dan mahasiswa di seluruh negeri.

Gerakan Mahasiswa Sekarang

Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah di lanjutkan oleh SBY - JK yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat. 
Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi 

Keberhasilan rejim SBY-Boediono merebut kembali setelah kemenangan pada 2004 menjadikan gerakan mahasiswa bahwa SBY sebagai public enemy rakyat dan mahasiswa. Kebijakan serta cara-cara militeristik gaya orde baru ternyata dihidupkan lagi, serta paham neoliberalisme yang kental terkesan kuat oleh rejim ini. Tidak salah jika SBY mendapat predikat sebagai kebangkitan ode baru jilid II. Namun tipu muslihat dengan pergeseran tata cara berpolitik rupanya (politik pencitraan) banyak menjebak rakyat terhadap kesan SBY. Sehingga dengan mudah SBY selalu mampu lolos dari pengamatan rakyat.

Kondisi ini ditambah dengan semakin apolitis dan apatisnya mahasiswa terhadap persoalan-persoalan nasional, sedangkan satu sisi banyak aktivis yang sudah jinak dan lebih suka merapat ke lingakaran rejim SBY. Membuat perjuangan semakin berat.

Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen. 

Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretan kepeloporan yang dimaksud.
   




Peran dan Posisi Koran Kampus dalam Gerakan Mahasiswa

Posted by : Haki Rambu Anarki | Minggu, 14 Maret 2010 | Published in



Dalam setiap perubahan negeri ini selalu melibatkan pemuda dan mahasiswa. Gerakan-gerakan mereka tak bias pungkiri dan sudah tercatat dalam tinta emas sejaraah. Tentu yang paling dingat adalah gerakan mahasiswa ditahun 1966 yang berhasil menggulingkan orde lama dan gerakan mahasiswa ditahun 1998. Gerakan mejadi seperti momok yang menakutkan bagi penguasa rejim, orde baru sadar betul itu sehingga melahirkan kebijakan NKK/BKK yang melegenda dan efeknya masih terasa sampai sekarang.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana gerakan-gerakan mahasiswa itu muncul, bahkan menjadi massif? Apakah gerakan itu muncul karena sekedar dilandasi keprihatinan pemuda dan mahasiswa saja dengan tiba-tiba? Bisa dikatakan demikian, namun ada yang lebih berperan penting dalam terbangunnya gerakan mahasiswa, yaitu karena suasana intelektualitas mahasiswa yang sering berkumpul dan mendiskusikan segala persoalan dan situasi nasional dan tentunya mereka menuangkan hasil gagasan dan diskusi mereka dalam sebuah wadah sebuah Koran kampus atau biasa disebut pers mahasiswa.

Dua factor itulah, menurut hemat penulis sangan berperan penting dalam kemunculan gerakan-gerakan yang ada di kampus dengan terus menerus melakukan konsolidasi pada akhirnya menjadi sebuah gerakan massif mahasiswa. Namun jika dua hal tadi mati dan tidak ada, tentu juga tidak ada sebuah gerakan mahasiswa.

Pers, yang pernah disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah legislatif, eksekutif dan yudakatif menjadi bagian penting untuk mengontrol tiga pilar. Dari asumsi inilah juga pers kampus ingin terlibat dalam bagian oposisi rejim. Dan selalu meyerukan perlawanan pada rejim yang anti rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populis. Pers mahasiswa sebelumnya pada era orde baru sangatlah minim, toh jika ada isi dan beritanya tidak banyak memberitakan dan mengkritisi kebijakan dan sepak terjang rejim, namun lebih pada seputar kegiatan kampus. Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK telah banyak mengebiri dan kebebasan pers mahasiswa pada waktu itu. Lalu bagaimana bisa jika tidak ada peran pers kampus, gerakan mahasiswa bisa menjadi massif ditahun 1998, diskusi-diskusi secara sembunyi-sembunyi dan advokasi serta terjun dalam basis-basis rakyat rupanya telah dilakukan para mahasiswa era 1990 – 1998. seperti yang sudah di utarakan oleh penulis di atas.

Pers mahasiswa begitu menjamur ketika reformasi dan sesudahnya. Berkah dari reformasi rupanya telah membuka keran yang selama ini tersumbat. Hampir disetiap kampus baik negeri dan swasta berlomba-lomba untuk mendirikan dan menerbitkan Koran, bulletin, leaflet dan majalah kampus. Isinya tentu sangat bermacam-macam, bahkan lebih cenderung sebagai media propaganda kritik dan perlawanan terhadap rejim serta seruan untk terus meneruskan reformasi yang telah dianggap jalan ditempat. 

Baik dari layout yang sederhana sekedar hasil print dan cetakan photo copy sampai pada terbitan majalah dengan layout yang wah… persma (pers mahasiswa) menjadi kekuatan tersendiri yang independent dalam mengontrol tiga pilar yang lainnya ataupun sekedar kegiatan-kegiatan yang ada di kampus semua menjadi bidikan berita bahkan isu-isu nasional kerap dikabarkan dan dilawan melalui pers mahasiswa.

Namun seiring perjalan, dari generasi ke generasi pers mahasiswa menjadi kkehilangan tajinya dan lebih celakanya diskusi juga pun semakin berkurang, karena terjadi pergeseran gaya hidup mahasiswa yang lebih suka hura-hura dari pada mengasah intelektualitasnnya. Tentu jika dua hal itu hilang dan punah jangan berharap akan muncul sebuah gerakan mahasiswa yang siap berpihak pada rakyat.

Inilah kemudian menjadi tantangan bagi mahasiswa sekarang untuk terus menghidupkan lagi suasana, kekritisan dan kesadaran peran dan posisi penting mahasiswa sebagai agen control dan perubahan yang telah terukir dalam sejarah. Jelas ini tidak mudah, diperlukan kepeloporan dan pelatihan serta diklat pers kampus yang biasanya sering dilakukan oleh senior-senior mereka dahulu. Dan yang tak kalah penting lagi adalah hasil dari pelatihan dan diklat jurnalistik yang pernah diadakan bukan hanya sekedar pelatihan dan diklat saja tapi keberlanjutan untuk menghidupkan lagi pes kampus dengan terbitan-terbitan kampus, tentunya siap ditunggu dan perlu segera direalisasikan.

KAMUS PR (Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag ‘1945 Surabaya Pro Rakyat) sebagai salah satu organisasi yang turut serta dalam gerakan mahasiswa reformasi 1998, berupaya keras agar tradisi pers kampus dan diskusi tidak punah. Karena KAMUS PR sebagai organisasi gerakan mahasiswa tentunya tidak menginginkan kepunahan tradisi diskusi dan penerbitan pers kampus akan menjadi efek domino kekritisan mahasiswa juga akan hilang. Ini dibuktikan dengan masih eksistansinya Opzitsii sebagai bulletin propaganda KAMUS PR baik cetak dan online masih ada dan Perma Aufklarung Untag yang notabene didirikan oleh kawan-kawan KAMUS PR telah menunjukan hasil meski segal keterbatasan mulai dari financial dan tenaga kerjanya dirasa kurang, namun KAMUS PR patut bersyukur bahwa eksistansinya tidak ikut terhapus dari kampus. 

Dan untuk langkah selanjutnya, diharapkan akan menjadi massif dan lebih professional dalam kepengurusan dan penerbitannya. Pentingnya media pers tidak terbantahkan lagi, di era transformasi informasi yang begitu cepat media sangat berperan penting dalam kehidupan. Pers sebagai pilar demokrasi keempat sekarang jauh dari harapan rakyat, karena rata-rata lebih pada profit oriented dan pro status quo, lalu harapan satu-satunya tentu pada pers mahasiswa yang masih murni dan berpihak pada rakyat.

Benar adanya, jika pers di Indonesia sekarang lebih bebas dan tidak perlu takut dengan pembredelan ketika era orde baru dulu, namun yang perlu dikritisi bahwa media sekarang lebih banyak pro terhadap pasar dan pemodal. Sedangkan pers dan media yang masih ingin benar-benar ingin konsistensi pada tugas dan fungsinya mulai terancam pada RUU dan UU yang siap menjadi momok yang menakutkan. Lihat saja pada UU No 11/2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 dan 45. kemudian UU No 14/2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam pasal 51 dan 54. Lalu ada UU No 44/2008 tentang Pornografi ( dalam definisi pornografi dalam UU ini sangat lentur) pada pasal 29 yang menyebutkan “ mengancam orang yang memproduksi, memperbanyak, menyebarkan luaskan, menyiarkan dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/ atau denda sedikitnya Rp 250 jta dan paling banyak 6 Miliar). Dan tambahan dari UU No 10/2008 tentang Pemilu dalam pasal 28 dan 99. kesemuanya secara tidak langsung menjadi pengkebiran pers/ baik cetak maupun elektronik nasional, dengan ancaman yang rata-rata sangat berat dan denda yang sangat fantastis. Tentu itu bertujuan untuk membuat kaum jurnalis mati kutu dan bangkrut sehingga akan tutup dengan sendirinya. Inilah yang kemudian rejin SBY-Kalla dan sekarang SBY-Boediono sebagai rejim orde baru jilid II. 

Jika demikian, lalu harapan satu-satunya tentu pada eksistensi pers mahasiswa yang akan selalu senantiasa terdepan dalam control dan oposisi bagi rejim serta sebagai media perlawanan. Apalagi menjamurnya internet telah membuka peluang media yang murah meriah untuk terus mengabarkan dan perlawanan terhadap pemerintah yang anti rakyat. Ini menjadi tugas kita sebagai mahasiswa. Untuk itu mari terus hidupkan pers mahasiswa sebagai pers yang independen dan sebagai kontrol untuk rejim yang semakin hari semakin menunjukan belangnya.  

Amir Baihaqi
Ketua umum KAMUS PR 






Organisasi; Tempat Bertarung atau Apa ?

Posted by : Haki Rambu Anarki | Kamis, 11 Maret 2010 | Published in


Mungkin kita bosan jika harus membaca sebuah tulisan mengenai organisasi, karena banyak sekali tulisan yang mengulas tentang organisasi, tentang pentinglah, tentang organisasi yang baik lah, tentang tujuan lah yang isinya begitu-begtu saja. Atau mungkin kita sudah tidak perlu lagi membaca tulisan-tulisan mengenai organisasi.

Penulis tidak hendak mengulang tulisan-tulisan yang biasa kit abaca. Oleh karena itu pembaca tidak perlu merasa sudah tahu apa yang ingin penulis sampaikan. Karena sunggu, penulis yakin pembaca tidak akan merasa sia-sia setelah membaca ini, kecuali anda sudah sangat muak dengan organisasi dan mengaggap organisasi adalah sebuakeompok yang haram untuk digeluti. Meskipunkondisi material pembaca sudah sangat mengharuskan anda berorganisasi.

Biasanya kita menganggap organisasi adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan yang sama, dikarenakan memiliki tujuan yang sama maka akan diwujudkan bersama-sama di dalam organisasi. Meskipun di dalam organisasi tersebut terdiri dari berbagai macam karakter, namun karena dilandasi oleh tujuan yang sama maka mereka bekerja bersama-sama untuk mewujudkan tujuan yang termanifestasi dalam organisasi.

Yahh…. Anggaplah tersebut adalah benar adanya, penulisyakin tidak akan ada orang yang akan membantah definisi sederhana mengenai organisasi tersebut. Lalu pertanyaan kemudian adalah sesederhanakah oraganisasi itu? Yakinlah bahwa meski dengan karakter yang berbeda-beda organisasi akan berjalan lancer adanya? Terlebih dahulu mari kita diskusikan hal tersebut.

Contoh sederhana dan sangat dekat dengan dinamika mahasiswa, pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa atau BEM. Biasanya dalam pemilihan tersebut ada dua sampai empat kandidat yang akan memperebutkan kursi ketua. Untuk perebutan kursi, para kandidat tersebut saling berebut simpati calon pemilih dengan cara yang beragam, mulai dari kampanye damai sampai dengan black campaign dengan mendeskreditkan calon yang lain karena dianggap musuh politiknya, begitu biasanya sebutannya. Para kandidat tersebut saling klaim kiri-kanan dengan memunculkan bahwa dirinya lah yang terbaik dan paling hebat. Dus, strategi dan taktik kampanye yang paling baiklah yang akan menang.

Pada saat salah satu kandidat terpilih menjadi ketua kemudian ia membentuk structural organisasinya, dalam pembentukan structural ini tentu saja ketua terpilih akan memilih orang-orangnya saja atau satu dua orang musuhnya. Memilih orang-orangnya saja dengan asumsi bahwa melaui orang-orangnya maka organisasi akan mudah diatur serta dikotrol geraknya memlaui sosok kepemimpinan tunggal, meskipun tidak mau disebut begitu. Memilih satu dua orang bekas musuhnya saat perebutan kursi, dengan asumsi bahwa mengakomodir kelompok lain atau biasanya dikarenakan agar musuh politiknya tersebut tidak menggangu stabilitas kepemimpinannya, maka pilihanya yang paling rasional adalah diberikan sedikit kue kekuasaan agar tidak merecoki.

Setelah terbentuk structural apakah kemudian organisasi akan berjalan sesuai rencana? Jawabannya adalah tidak !! meskipun organisasi terdiri dari orang-orangnya dan satu dua orang musuhnya, tetap saja di dalamnya akan muncul gesekan sana-sini, mulai dari rasan-rasan anggota yang dianggap jeleklah, tidak becuslah, ketua yang tidak menyerap aspirasi anggotalah, korupsi disana-sinilah, sampai pada isu penggulingan ketua. Boro-boro mewujudkan tujuan, selama periode tertentu organisasi akan disibukan dengan sikut sana-sini, organisasi lebih disibukan meredam gejolak dalam internal organisasi daripada melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Dus, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan hanya untuk seremonial saja, asal ada…. Selesai. Tidak lagi terpikir sebuah kegiatan yang subtansial.

Contaoh tersebut sepertinya menjadi hal umum dalam organisasi manapun, mulai dari tingkat RT/RW, Karang Taruna, organisasi mahasiswa, Ormas, partai politik sampai dengan organisasi termodern yaitu pemerintahan Negara, presiden beserta para menterinya. Hanya saja berbeda dalam meminimalisir konflik organisasinya. Lalu pertanyaan yang sangat menggelitik benak penulis adalah jika memang begitu adanya, buat apa berkumpul (berorganisasi)? Jika di dalamnya hanya berisikan pertarungan antar manusia satu dengan yang lainnya.
Mungkin akan banyak menjawab bahwa tentu tujuan organisasi tidak bias dilepaskan oleh konflik, malahn dengan konflik maka organisasi tersebut akan menjadi berkembang atau dengan bijaksana menjawab organisasi harus dilandasi oleh komitmen bersama orang-orang yang ada di dalamnya agar tujuan mampu tercapai dengan baik. Jawaban-jawaban itu tentu saja benar dan tidak ada yang salah, tetapi bukankah pada awal pembentukan structural baru atau setiap kali rapat, kata-kata komitmen terhadap organisasi selalu didengungkan? Bukankah pada kenyataannya dengan konflik, organisasi menjadi sekumpulan geng yang sikut sana sikut sini? Bukan konflik justru menhancurkan cita-cita organisasi, bukan malah membangun? Pada kenyataanya hal tersebut memang terjadi.

Berkaitan dengan materi manajemen organisasi, maka penulis akan menjawab mengelola oraganisasi yang paling awal harus dilakukan adalah dengan cara merekatka antar bagian-bagian di dalam organisasi melaui kedekatan emosional. Bukan main-main, kedekatan emosional dibangun pada tataran paling dalam, saling memback-up kekurangan masing-masing, sampai dengan menceritakan hal yang paling rahasia kekpada kawan berorganisasi. Dengan asumsi bahwa hanya dengan kawan (organisasi) segala sesuatu itu diceritakan dan dibicarakan. Karena semua orang diluar kawan adalah sebatas teman atau paling berbahaya adalah musuh. Hanya kawanlah yang tiak memiliki kepentingan merusak, hanya kawan lah yang bias merumuskan dan mewujudkan tujaun bersama, bukan teman atau musuh. Untuk mengetahui bahwa orang tersebut kawa atau bukan tentu saja bukan persoalan mudah. test case-nya adalah harus ada kepeloporan pemimpin dan kelompok kecil yang memang terlebih dahulu dipersiapkan. Kepeloporan dan kelompok kecil itulah yang akan menggawangi organisasi, lebih jauh untuk menyiapkan kawan berikutnya. Hal ini bias disebut sebagai prinsip persekawanan, dan yang dipersiapkan sebagai kawan berikutnya disebut sebagai kader. Lho, bukankah dalam organisasi biasanya juga disebut kata-kata kader? Apakah setiap pelatihan atau kaderisasi organisasi seluruh orang disebut kader organisasi? Bagi penulis kader sesungguhnya adalah kawan, bukan teman, bukan massa dan bukan musuh. Kawan adalah kawan, dengan banguna prinsip persekawanan. Jika prinsip persekawanan tidak pernah terwujud maka orang dalam organisasi tersebut tidak layak disebut kader.

Jika judul artikel ini adalah “ organisasi; tepat bertarung atau apa? “ maka penulis akan mengisi bagian “ Apa” dengan kata-kata TEMPAT BERSEKAWAN dan tentnu saja dengan tegas memilih jawaban yang kedua. Wassalam. 


Syamsul Muarif

Mantan Ketua Umum KAMUS PR

STATEMENT KAMUS PR

Posted by : Haki Rambu Anarki | Senin, 08 Maret 2010 | Published in

Kesatuan Aksi Mahasiswa UNTAG 1945 Surabaya Pro Rakyat
  KAMUS PR
  Jl. Nginden I/2A Surabaya, (031) 5963728, email: sajap_kiri@yahoo.com
  Contact Person : Ketua Umum KAMUS PR, Haki - 088 1320 2672

  STATEMENT No : 03/IV/kamus_pr/fp_st/06
   
  USIR FREEPORT DARI BUMI PAPUA
  SERTA TOLAK INTERVENSI APARAT BERSENJATA
  SEKARANG JUGA !!
   
   
  FREEPORT adalah perusahaan pertambangan Amerika, bermarkas 
di New Orleans. Sebuah korporasi global yang tidak mengenal batas 
negara dan memiliki kepentingan mengakumulasikan keuntungan lewat 
eksploitasi sumber daya di negara lain. Freeport Sejak tahun 1960an telah 
melakukan penggalian tembaga di Irian Jaya (sekarang Papua). Mencuatnya 
kembali kasus Freeport setelah pemerintah terus mendesak agar eksploitasi 
oleh Freeport dioperasikan kembali. Namun, upaya itu mendapatkan 
perlawanan dari rakyat papua yang terus mempertahankan tanahnya dengan 
memblokade jalan masuk ke PT Freeport. Perlawanan yang akhirnya berbuntut 
tewasnya 3 anggota Brimob dan 1 anggota TNI AU. Yang sebelumnya juga telah 
menewaskan warga Timika. Pasukan bersenjata akhirnya melakukan 
‘serangan’ membabi buta pada mahasiswa UNCEN dan menangkap sekitar 40 orang 
mahasiswa.
  Cerita klasik penindasan yang diproduksi oleh tata dunia 
yang kapitalistik seakan tidak pernah hentinya. Hari ini kita kembali 
menyaksikan arogansi kapitalis internasional yang ingin merampok tanah 
indonesia lewat Freeport yang melakukan penggalian emas di Papua 
mengandung cadangan bijih emas terbesar di dunia sebanyak 2,5 miliar ton. 
Sewaktu rezim orde baru eksploitasi oleh Freeport diakomodir penuh. Rezim 
yang berhaluan Neoliberalisme telah menghantarkan korporasi raksasa itu 
mengacak-acak sendi-sendi ekonomi rakyat. Asumsi modal asing yang masuk 
ke Indonesia akan mampu mendorong rakyat sejahtera hanya bualan semata. 
Pertama, rakyat tidak pernah mendapatkan apa-apa dari penambangan oleh 
Freeport, baik rakyat papua maupun sumbangan terhadap perekonomian 
nasional. Antara tahun 1992 hingga 2002, Freeport memproduksi 5,5 juta ton 
tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas. Bayangkan berapa triliun 
rupiah yang dibawa lari ke luar negeri setiap tahunnya. Tahun 2003
Freeport meraih untung bersih 484 juta dollar Amerika Serikat atau 
naik dari tahun 2002 sebesar 398,5 juta dolar AS dan mendapatkan 484 juta 
dolar AS di tahun 2001. Namun, menyumbang hanya 1,3 hingga 1,6 persen 
bagi devisa negara . Apakah keuntungan yang diraup oleh Freeport 
memberikan kesejahteraan rakyat papua khususnya dan indonesia secara umum? 
Rakyat papua yang masih bergelimang dalam lumpur kemiskinan dan serta 
kemiskinan massal yang di tahun 2005 telah mencapai 60% dari jumlah seluruh 
rakyat indonesia adalah bukti bahwa Freeport tidak pernah menyumbang 
kesejahteraan rakyat Indonesia. Freeport hanya akan menciptakan rakyat 
semakin termarjinalkan secara ekonomi.
  Kedua, Freeport telah ‘menyumbang’ tercemari dan rusaknya lingkungan. 
Karena proses ekplorasi dan eksploitasi Freeport berdampak buruk 
terhadap ekosistem. Tak hanya kerusakan alam pada tanah Erstberg dan 
Grasberg, tapi juga pencemaran lingkungan atas jalur-jalur aliran sungai. 
Ekploitasi itu merusak kondisi alam dan tanah yang sebelumnya menurut 
kepercayaan suku setempat dipandang sebagai area yang ‘keramat’, selain 
sebagai daerah sumber kehidupan sehari-hari seperti berburu binatang bagi 
keperluan makan. Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 
ribu metrik ton bahan tambang, dimana hanya 3% saja yang dipakai. 
Sisanya sebanyak 97% yang berbentuk Tailing menjadi sumber limbah yang 
merusak. Di tahun 1996 saja ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal 
dihasilkan tambang tersebut selama beroperasinya. Dan telah memberikan 
pencemaran dan linkungan, baik hutan, danau dan sungai serta kawasan tropis 
seluas 11 mil persegi. Di tahun 2004 limbah Freeport mengandung
37.500 miligram seraya sungai memasuki dataran rendah dan 7500 
miligram ketika sungai memasuki Laut Arafura. Praktek ini merupakan acaman 
terhadap ekosistem. 
  Ketiga, praktek kekerasan oleh pasukan bersenjata selalu mewarnai 
kasus Freeport. Kemelaratan rakyat papua ditambah dengan munculnya 
aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik itu TNI, Polisi 
ataupun sipil yang dipersenjatai. Segala bentuk perlawanan untuk 
mempertahankan tanah mereka selalu terselesaikan dengan kekerasan. Peristiwa 
tertembaknya warga Timika adalah contoh bahwa hanya dengan jalan 
kekerasan perlawanan rakyat mampu teredusir. Tewasnya 4 aparat dijadikan 
alasan bagi pemerintah untuk semakin menggebuk perlawanan rakyat. Kita 
ingat Orde Baru memakai intervensi militer untuk melindungi berlangsungnya 
akumulasi modal oleh Freeport. Pada masa orde baru tercatat sebanyak 
sejumlah 2000 personel Kopasus dan Kostrad ditempatkan di wilayah itu di 
bawah perintah langsung Presiden Soeharto, dan sebagai imbalannya 
Freeport memberikan kompensasi dana 40 juta dolar Amerika. Dalam masa itu 
rakyat papua menghadapi merebaknya intimidasi, penganiayaan,
pembunuhan dan penangkapan serta penghilangan warga yang melakukan 
protes dengan tuduhan sebagai anggota OPM. Sepanjang dominasi orde baru 
sebanyak 36 orang dinyatakan terbunuh. Hari ini komposisi kekuatan TNI 
yang diturunkan di Freeport adalah Paskhas 1 SSK, Marinir 1 SSK, TNI AD 1 
Batalyon, Korem 1 Unit dan dibantu Kodim Mimika. Sedangkan untuk sipil 
yang dipersenjatai (Satpam) berjumlah 630 orang. Anggota Polri yang 
ikut meramaikan suasana ada 1 Kompi Brimob, 1 Unit Gegana, dan Polres  
Mimika. Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah buat apa pasukan 
sebanyak itu? Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjaga aset dan 
kepentingan asing yang ada di Papua khususnya Freeport, militerisme masih 
menghantui proses demokratisasi di negeri ini. Rezim masih memilih 
pendekatan represif terhadap penyelesaian persoalan–persoalan yang ada di 
rakyat.
  Kebijakan rezim SBY-Kalla pada persoalan Freeport ternyata 
tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dipraktekkan oleh Orde Baru. 
Kebijakan yang masih berhaluan Neoliberalisme, kepentingan asing adalah 
segala-galanya, menjaga aset-aset mereka menjadi kewajiban pemerintah. 
Jika hal itu terus dilakukan maka Kesejahteraan akan semakin menjauh 
dari rakyat dan represifitas akan terus mewarnai demokratisasi negeri 
ini. Tidak ada jalan lain bagi rezim SBY-Kalla dengan berani memangkas 
hubungan dengan kapitalis asing macam Freeport, dan lebih memberdayakan 
masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdayanya. Karena selubung kejam 
Neoliberalisme akan semakin meruntuhkan sendi-sendi ekonomi, sosial dan 
politik rakyat Indonesia. Dan rezim SBY-Kalla harus tegas menentukan 
keberpihakan mutlak hanya untuk rakyat!!
  Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag 1945 Surabaya Pro Rakyat (KAMUS PR) 
menyerukan kepada segenap elemen rakyat untuk lantang meneriakkan dan 
menuntut;
   
  1. Tutup dan Usir Freeport Dari Bumi Papua 
  2. Usut tuntas kasus korupsi pertambangan di Indonesia
  3. Stop Militerisme dan serukan Demiliterisasi di Papua
  4. Tarik TNI dan Polri dari Papua
  5. Usut tuntas pelanggaran HAM konflik Freeport
  6. Tuntut perusakan dan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh 
Freeport
   
   
  Ayo Lantang Teriakkan
   
  USIR FREEPORT DARI BUMI PAPUA
  SERTA TOLAK INTERVENSI APARAT BERSENJATA
  SEKARANG JUGA !!!
   
   
  BANGUN PEMERINTAHAN YANG ADIL DAN SEJAHTERA SECARA EKONOMI SERTA 
DEMOKRATIS SECARA SOSIAL POLITIK
  HANYA UNTUK RAKYAT !!!



Nasionalisasi Bank Venezuela : Langkah Berani Hugo Chaves

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in


Pada tanggal 31 Juli, Chavez mengumumkan nasionalisasi Bank Venezuela (Banco de Venezuela) yang dimiliki oleh perusahaan multinasional Spanyol, Grupo Santander. "Kita akan menasionalisasi Banco de Venezuela. Saya mengajak Grupo Santander untuk datang kesini supaya kita bisa mulai bernegosiasi". 

Berita ini adalah berita yang menggembirakan, dan merupakan salah satu langkah yang tepat untuk menyelesaikan kontradiksi di dalam revolusi Bolivarian. Walaupun minyak yang merupakan sumber ekonomi terbesar di Venezuela sudah dinasionalisasi dan merupakan pilar ekonomi dimana hampir semua program sosial Venezuela (yang kerap disebut Mission) bersandar, makro ekonomi di Venezuela masih ada di tangan oligarki lokal dan modal asing. Perbankan merupakan sendi utama ekonomi negara yang mengatur jalannya kredit, modal, dan investasi; dan ini masih ada sepenuhnya di tangan kapitalis untuk melayani kepentingan mereka. Ini adalah kontradiksi yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, kita harus menyambut nasionalisasi Bank Venezuela sebagai satu langkah maju untuk menyelesaikan kontradiksi ini. 

Seperti halnya nasionalisasi pabrik besi SIDOR belum lama ini (Chavez re-nationalises SIDOR: historic victory for the workers), maka nasionalisasi Bank Venezuela akan memberikan dorongan dan semangat kepada rakyat pekerja untuk menuntut ekpropriasi ekonomi dari tangan kapitalis, tuan tanah, dan bankir; dan bukan hanya menuntut, tetapi melakukannya sendiri di bawah kontrol buruh. 

Akan ada orang-orang yang mengeluh "Tetapi, ini adalah kebijakan dari atas, dari elit, bukan dari rakyat. Revolusi haruslah dibangun dari bawah." Tetapi permasalahannya bukan ini, yang kita hadapi sekarang adalah Chavez menyerukan nasionalisasi bank. Apakah kita akan menolaknya hanya karena ini datang dari inisiatif di atas, bukan dari bawah? Tentu saja tidak, kita dukung inisiatif ini karena ia akan memberikan semangat kepada rakyat pekerja untuk menuntut nasionalisasi ekonomi Venezuela di bawah kontrol buruh. Kita dukung sembari kita juga serukan: "Ini adalah langkah yang tepat, tetapi nasionalisasi setengah-setengah tidak akan cukup untuk menyelesaikan kontradiksi ekonomi di dalam revolusi Bolivarian. Kita perlu menasionalisasi seluruh perbankan dan sektor finansial, ini adalah kondisi yang diperlukan untuk membentuk ekonomi sosialis yang terencana. Serta kita juga harus menasionalisasi tanah dan perusahaan-perusahaan besar. Semua di bawah kontrol buruh." 
Seruan Chavez

Di dalam acara TV nasional, Chavez mengatakan: "Beberapa bulan yang lalu, saya menerima informasi bahwa Banco de Venezuela, yang sudah diprivatisasi bertahun-tahun lamanya, akan dijual oleh pemiliknya di Spanyol; bahwa sebuah perjanjian telah ditandatangani oleh Grupo Santander dan sebuah perusahaan bank swasta di Venezuela ... kemudian saya kirim sebuah pesan kepada mereka bahwa pemerintah Venezuela ingin membeli bank tersebut, kita ingin mengambilnya kembali. Kemudian pemilik bank tersebut mengatakan ‘tidak, kami tidak ingin menjualnya'. Jadi sekarang saya katakan ‘tidak, saya akan membelinya. Harganya berapa? Kita akan membayarnya, dan kita akan menasionalisasi Bank Venezuela' ". 

"Dari sini, kampanye media dari Spanyol dan internasional akan mulai. Mereka akan mengatakan bahwa Chavez adalahs seorang otokrat, bahwa Chavez adalah seorang diktatur, saya tidak peduli, kita tetap akan menasionalisasi bank ini". 

"Ada yang aneh disini karena sebelumnya pemilik bank tersebut benar-benar ingin menjualnya, dan sekarang mereka katakan bahwa mereka tidak ingin menjualnya kepada pemerintahan Venezuela. Kita akan menasionalisi Bank Venezuela supaya bank tersebut digunakan untuk melayani kepentingan rakyat Venezuela...Laba bank tidak akan diambil oleh grup-grup swasta, tetapi laba ini akan diinvestasikan di dalam proyek sosialis". 

Chavez juga mengatakan bahwa simpanan para pelanggan Bank Venezuela akan dijamin, dan pekerja-pekerja bank tersebut tidak akan kehilangan pekerjaannya. Justru kondisi mereka akan meningkat seperti halnya dengan pekerja di perusahaan SIDOR setelah nasionalisasi. 
Perbankan Venezuela 

Bank Venezuela adalah salah satu bank terbesar di Venezuela yang menguasai 12 persen usaha kredit di Venezuela. Pada pertengahan tahun 2008, bank ini meraih laba sebesar 170 juta dollar Amerika (1500 milyar rupiah), ini meningkat 29% dari tahun sebelumnya. Bank Venezuela memiliki 285 cabang dan 3 juga pelanggan, dan aset sebesar 891 juta dollar Amerika. 

Setelah krisis ekonomi pada tahun 1994 dimana 60% sektor perbankan ambruk dan bangkrut, Bank Venezuela dinasionalisasi. Tetapi 2 tahun kemudian bank ini diprivatisasi dan dibeli oleh perusahaan multinasional Grupo Santander dari Spanyol dengan harga yang sangat kecil, yakni 300 juta amerika dollar. Dalam waktu 9 bulan, Grupo Santander sudah balik modal. Tahun 2007 saja bank ini meraih laba $325.3 juta dollar, ini sudah melebihi apa yang mereka bayar untuk membeli bank tersebut. 

Ini tentu mengingatkan kita kepada krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997, dimana perbankan Indonesia ambruk dan negara Indonesia ‘terpaksa' (atau dipaksa) membayar semua hutang mereka dengan BLBI sebesar 13 milyar juta dollar (122 trilyun rupiah, saat itu ini adalah setengah dari anggaran negara). Dalam kata lain, negara Indonesia menasionalisasi hampir semua sektor perbankan di Indonesia. Tetapi tentu ada bedanya, disini pemerintah Indonesia menasionalisasi hutang bank-bank tersebut. Aset-aset bank-bank tersebut lalu dikumpulkan di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) untuk ‘disehatkan' dan kemudian dijual kembali ke pihak swasta dengan harga yang sangat murah. 

Sekarang, perbankan di Venezuela dikuasai oleh empat grup: BVVA dan Grupo Santander dari Spanyol, serta dua bank lokal, Mercantil dan Banesco. Grupo Santander adalah perusahaan bank terbesar di Amerika Latin dengan 4500 cabang, dan sepertiga laba mereka datang dari Amerika Latin. Ini adalah contoh bagaimana modal asing mengeruk sumber daya Amerika Latin. 
Privatisasi Laba, Nasionalisai Hutang

Para ahli ekonomi kapitalis sudah mulai memprotes langkah Chavez ini. Ahli ekonomi dari Goldman Sachs, Alberto Ramos, mengatakan: "Saya tidak setuju kalau perbankan harus berada di bahwa sektor publik. Sektor swasta lebih efektif dalam menjalankan perbankan." Sunguh sebuah kemunafikan! Kita sudah lihat bagaimana efektifnya perbankan swasta di Indonesia, yang bangkrut dan harus diselamatkan oleh negara. 

Bukan hanya di Indonesia, tetapi di negara-negara maju, perbankan swasta sudah mulai berjatuhan dan harus diselamatkan oleh negara. Belum lama ini, Federal Bank Reserve di Amerika Serikat harus menyelamatkan Bear Stearns dan membayar 29 milyar dollar Amerika untuk memfasilitasi penjualannya kepada JPMorgan. Di Inggris sendiri, salah satu bank terbesar, Northern Rock, ambruk dan harus dinasionalisasi. Nasionalisasi Northern Rock memakan biaya sebesar 40 milyar dollar, dan ini harus ditanggung oleh rakyat pekerja Inggris. Lalu, dua perusahaan kredit rumah terbesar di Amerika, Fannie Mae dan Freddie Mac, yang diambang kebangkrutan, harus diselamatkan oleh negara yang mengucurkan dana sebesar 25 milyar dollar. Kalau untuk menyelamatkan aset-aset mereka dan membayar hutang mereka, para ekonom ini tidak menolak nasionalisasi. 

Inilah slogan kaum kapitalis: Privatisasi Laba, Nasionalisasi Hutang! Sungguh suatu kemunafikan yang tiada tara. Kapitalisme sudah menjadi sebegitu bangkrutnya dan bobroknya. Semua nilai-nilai kapitalisme mengenai pengambilan resiko dan kompetisi sudah tidak lagi valid. Tidak ada lagi pengambilan resiko, karena kalau mereka bangkrut dan terjebak hutang, maka negara akan ‘menyelamatkan' dan ‘menyehatkan' mereka dengan menggunakan uang rakyat pekerja. Dengan semakin memusatnya kapital di tangan beberapa individual, tidak ada lagi kompetisi, yang ada hanya monopoli dengan ilusi kompetisi. Memang dulu, nilai-nilai kapitalisme ini adalah suatu hal yang progresif secara historis; ia menghancurkan feudalisme yang sudah bangkrut, dan mengembangkan kekuatan produksi. Akan tetapi sekarang kapitalisme sudah menjadi parasit. 
Nasionalisasi Dengan Kompensasi

Tentu akan ada beberapa orang yang meragukan nasionalisasi ini karena Chavez menawarkan untuk membeli bank tersebut, dan bukan menyitanya. Tetapi, masalah kompensasi ini bukanlah masalah prinsip. Marx juga tidak menolak kemungkinan untuk memberikan kompensasi kepada kaum kapitalis Inggris dalam menasionalisasi alat-alat produksi mereka, dan ini dengan tujuan untuk meminimalisasi perlawanan dari mereka. Dan kalau boleh saya tambahkan, ini juga akan mengekspos kemunafikan nilai-nilai kapitalisme. Para kapitalis bersama-sama dengan media bayaran mereka akan menyerang Chavez dan langkah nasionalisasi ini, dan rakyat pekerja sedunia akan melihat bahwa serangan-serangan tersebut hanyalah berdasarkan kemunafikan dan keserakahan. Grupo Santander berniat menjual Bank Venezuela ke pihak swasta. Tetapi ketika pemerintahan Chavez ingin membelinya guna kepentingan publik, mereka menolaknya. Ini akan membuat geram rakyat pekerja, mereka akan berseru: "Kalau mereka menolak, kita sita saja semuanya!" 

Akan tetapi, kita tidak boleh berpikir seperti kaum reformis yang mengatakan bahwa kompensasi harus diberikan sesuai dengan harga pasar. Kebijakan kita adalah kompensasi minimum, dan hanya diberikan kepada pemegang saham kecil dan yang benar-benar membutuhkannya. Tidak ada kompensasi untuk mereka-mereka yang sangat kaya! Kita hitung kompensasi mereka dari laba-laba yang sudah mereka peroleh semenjak memperoleh Bank Venezuela. Grupo Santander membeli Bank Venezuela seharga 300 juta dollar, dan mereka sudah balik modal berulang-ulang kali. Jadi tidak ada alasan untuk membayar mereka sesen pun. 
Nasionalisasi Penuh di Bawah Kontrol Buruh

Akan tetapi, janganlah kita terjebak dengan teknikalitas proses nasionalisasi ini. Hal yang terpenting adalah rakyat pekerja melihat nasionalisasi ini sebagai sebuah serangan terhadap kaum kapitalis, terhadap kepemilikan pribadi mereka yang sakral. Ini akan memberikan dorongan bagi rakyat untuk semakin mempertanyakan hak kepemilikan para kapitalis ini. Para kapitalis pun mengerti besarnya pengaruh sosial dan politik dari langkah ini, maka dari itu mereka beramai-ramai menyanyikan lagu lama mereka: "Chavez adalah seorang diktatur, ini akan menghancurkan perekonomian Venezuela", dsb. Tugas setiap pendukung revolusi Bolivarian adalah untuk mendukung proses ini, dan mendorongnya untuk lebih maju. Nasionalisasi setengah-setengah tidak akan menyelesaikan kontradiksi ekonomi di Venezuela. Kendali ekonomi masih dipegang oleh para kapitalis, dan dengan mudahnya mereka bisa menyabotase industri-industri negara sembari berkoar: "Lihat industri nasional kita di bawah Chavez, semua rusak. Ini membuktikan bahwa nasionalisasi adalah langkah yang salah, ini membuktikan kegagalan sosialisme". Bukankah para oligarki di Venezuela sudah berulang kali menyabotase ekonomi Venezuela? Sabotase industri minyak tahun 2002/2003 yang disertai boss lock-out (mogok bos), kelangkaan bahan makanan, inflasi, dsb. Ini semua adalah sabotase ekonomi yang bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas revolusi Bolivarian dan sosialisme. 

Kita tidak bisa mengkontrol apa yang tidak kita miliki. Apakah seorang buruh pabrik bisa dengan mudah meminta bos pabrik untuk meningkatkan gajinya? Hanya dalam mimpi saja ini terjadi. Kita perlu menasionalisasi seluruh perbankan dan sektor finansial, semua pabrik-pabrik besar, tanah-tanah milik tuan tanah besar, semua di bawah kontrol buruh. Jangan biarkan birokrasi-birokrasi lama menjalankan industri nasional, karena ingat mereka dulunya adalah agen-agen kapitalis, teman minumnya para oligarki lokal. Singkirkan birokrasi ini, bentuk komite-komite pekerja yang akan menjalankan industri nasional secara demokratis dan secara terencana. 

Kita sambut nasionalisasi Bank Venezuela sebagai sebuah langkah maju. Tetapi objektif utama Revolusi Bolivarian masih belum tercapai: mengambil alih kekuatan ekonomi dan politik kaum oligarki dan pembentukan negara pekerja sosialis. 

*Sumber: Venezuela: The nationalisation of Banco de Venezuela oleh Alan Woods, 1 Agustus 2008.



Kekerasan dalam Revolusi

Posted by : Haki Rambu Anarki | Minggu, 07 Maret 2010 | Published in

Kata "revolusi" tidak jarang menimbulkan bayangan atau kekhawatiran yang mengerikan, jangan-jangan pemberontakan rakyat, atau kelas buruh, akan menyebabkan pertumpahan darah secara besar-besaran.

Kekhawatiran ini tentu saja dimanipulasi oleh kaum yang sedang berkuasa untuk menakut-nakuti rakyat agar kita tidak menentang penindasan dan pemerasan. Penguasa tersebut adalah orang munafik yang memang bersedia menggunakan kekerasan untuk menindas rakyatnya sendiri.

Contohnya banyak, termasuk pembantaian buruh di Chile tahun 1974, penyembelihan mahasiswa di Cina tahun 1989, atau peristiwa tahun 1965 di Indonesia. Di Barat, dimana lembaga-lembaga sosial bersifat lebih stabil, kebiadaban serupa lebih jarang terjadi, namun rezim-rezim di barat tak ragu-ragu untuk menyokong pembantaian serupa. Dan di negeri-negeri barat sendiri, kekerasan kadang-kadang juga dipakai tatkala pemerintah kehilangan kontrol atas rakyat.

Namun masalah kekerasan dilontarkan pula oleh banyak aktivis politik, yang betul-betul menginginkan perubahan sosial, tapi yang lebih mementingakan jalan damai. Dialog dengan aktivis ini kami anggap sangatlah penting.

Sistem kapitalis sebenarnya lebih keras daripada revolusi manapun yang dapat kita bayangkan. Setiap hari sebagian besar umat manusia mengalami kelaparan, walaupun ada sumber pangan yang memadai untuk memberi makan semua orang di dunia. Saban hari kapitalisme membunuh kira-kira 50.000 orang. Mereka mati karena kelaparan, atau kecelakaan di tempat kerja, atau karena pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Amerika Serikat, penyakit tbc sedang mewabah di New York, dimana banyak penduduk kulit hitam harapan hidupnya lebih pendek daripada penduduk di beberapa pelosok dunia ketiga.

Kaum sosialis ingin merubah sistem sosial yang penuh dengan kekerasan ini. Itu tidak mungkin terjadi tanpa pemberontakan bersenjata, karena kita sudah tahu dari pengalaman historis bahwa kaum pemilik modal tidak akan bersedia untuk menyerahkan kekayaan dan kekuasaan mereka kepada kelas buruh tanpa perlawanan.

Meski demikian, revolusi sosialis adalah cara yang terbaik untuk menghindari pertumpahan darah secar besar-besaran.

Nota bene, yang dimaksudkan tentu bukanlah revolusi ala Mao Tse-tung atau Pol Pot! Revolusi di Cina dan Kamboja itu sering digembar-geborkan sebagai revolusi "komunis", tapi seperti sudah kami jelaskan dalam kolom-kolom terdahulu, bahwa rezim "komunis" ini sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme negara. Revolusi tersebut berdasarkan perang gerilya yang sangat panjang dan berdarah. Perang gerilya sering didukung oleh kaum sosialis, seperti perjuangan nasional Indonesia tahun 1940-an yang tentu saja patut disokong oleh semua kaum progresif. Namun perang gerilya seperti ini bukanlah strategi Marxis.

Revolusi yang dijalankan oleh kelas buruh selalu berlangsung jauh lebih damai. Misalnya Kumune Paris tahun 1871, Petrograd (Rusia) tahun 1917, Barcelona (Spanyol) tahun 1936, Hongaria tahun 1956, dan Portugal tahun 1974. Di semua kasus ini kematian manusia sangatlah sedikit, sebelum kaum kapitalis melakukan kontra revolusi, ialah serangan balik untuk merebut kekuasaan dari kaum buruh. Kesediaan kelas buruh untuk membela diri memang menyebabkan peperangan yang cukup berdarah. Tapi bukankah kita boleh membela diri? Dan kontrarevolusi bisa juga terjadi setelah perubahan demokratis yang dilaksanakan dengan cara apapun.

Mengapa revolusi buruh berlangsung relatif damai? Kelas buruh memiliki kekuasaan sosial-ekonomi yang luar biasa, karena mereka hidup dan berjuang di jantung proses produksi. Oleh karenanya, kaum buruh mampu untuk membangun organisasi yang kuat, dan secara langsung mampu merebut alat produksi dari tangan kaum kapitalis.

Bahkan angkatan bersenjata susah untuk mengontrol gerakan buruh yang sadar dan militan, karena basis tentara sendiri sebenarnya juga terdiri dan berasal dari masyarakat kecil. Pemberontakan tersebut bukan saja hanya terjadi di jalanan namun juga di tempat kerja yang bisa direbut dan dipakai sebagai pangkalan. Di tempat kerja itu pula kaum buruh dapat mengkonstruksi lembaga demokratis baru untuk menggantikan aparatus negara sebelumnya. Untuk itu kaum buruh harus memiliki senjata untuk membela diri. Namun jika organisasi mereka cukup kuat, bisa jadi kekerasan tidak dibutuhkan sama sekali.

Dalam tulisannya tentang revolusi di Rusia, Trotsky membahas akan fenomena ini secara sangat terperinci:

"Setindak demi setindak kami telah telusuri perkembangan pemberontakan di Oktober 1917: ketidakpuasan massa buruh, kemarahan tentara tingkat bawah terhadap pemerintah, perjuangan kaum tani melawan tuan tanah, serta kepanikan golongan penguasa semakin meningkat ... Sesudah semua itu, adegan final revolusi ini mungkin terasa agak tawar... Boleh jadi pembaca merasa kecewa. Dimana huru haranya?... Kelas borjuis menanti lautan api, perampasan massal, pertumpahan darah dimana-mana. Padahal, yang bercokol adalah suatu kesunyian yang lebih seram buat kaum borjuis daripada segala teror alam ini. Dasar sosial di masyarakat bergeser tanpa bunyi, membawa rakyat ke depan, dan menghanyut serta menghapuskan kaum penguasa lama."

Masalah kekerasan ini penting untuk para aktivis di Indonesia. Dari satu sisi, mereka sering menyangsikan kemungkinan perubahan politik secara damai, lantaran sistem politik Orba begitu represif. Namun dari sisi lainnya, mana bisa mereka melupakan trauma tahun 1965, dengan hancurnya PKI dan pembunuhan massal di mana-mana di Nusantara? Sehingga mereka mencari jalan damai yang sekaligus tidak betul-betul berharap bahwa perubahan damai itu bisa dicapai.

Tetapi PKI itu sebenarnya bukanlah partai marxis (melainkan stalinis), dan strateginya pada tahun 1960-an jauh dari skenario revolusi marxis. Perbedaanya banyak, sehingga tidak bisa dibicarakan secara terperinci di kolom ini. Di sini kami lebih memusatkan perhatian pada masalah strategi pemberontakan saja. Massa Bolshevik waktu itu bersenjata, dan mereka bukanlah pasifis serta tidak menempuh jalan "konstitusional" atau parlementer. Tapi fokus Lenin dan Trotsky juga tidak pada masalah "militer", propaganda mereka tidak menggembar-gemborkan "perjuangan bersenjata" melainkan dengan mengemukakan peranan akan pentingnya mobilisasi massa buruh di tempat-tempat kerja. Ini bukan jalan damai yang mutlak dan sekaligus bukanlah jalan untuk menggunakan kekerasan, melainkan jalan revolusi sosial. Hasilnya, kaum Bolshevik mampu merebut kekuasan secara cukup damai.

PKI bagaimana? Menurut guru besar tentang Indonesia dari Cornell University, Ben Anderson, "PKI bertidak kontradiktif dalam menjalankan strateginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan ... Namun partai yang mengaku Marxis-Leninist ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen." (dikutip dari "Suara Independen", September 1997, hal 11.)

Dan konsekwensinya sudah kita tahu, bahwa jalan "damai" akibatnya pembantaian massal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman yang mengerikan pada tahun 1965 ini adalah justru betapa relevannya pendekatan marxis saat ini.

MULIAKAN DIRIMU DENGAN ILMU DAN PERJUANGAN..!!!



KARENA PERUBAHAN SELALU
DIAWALI OLEH PEMUDA DAN MAHASISWA
AYO KEPALKAN TANGAN TERIAKAN
LAWAN TERHADAP SETIAP PENINDASAN






Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.

Tolak Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA)

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in



Ayo Cintai Produk Dalam Negeri
Sekarang Juga

Kesepakatan perdagangan bebas China- ASEAN (China-ASEAN Free Trade Area) telah diteken dan mulai efektif berlaku pada 01 Januari 2010. dengan adanya CAFTA pilihan barang bagi konsumen tentu akan tambah beragam karena barang-barang produk dari China akan membanjiri dan masuk dengan bebas. Selain harga yang bersaing, konsumen akan dimanjakan oleh barang-barang bervariasi dari negeri China.
Pemberlakuan perdagangan bebas China itu memang akan mampu membuat volume aktivitas perdagangan antarnegara meningkat besar. Hal itu karena produk-produk asing khususnya produk China yang masuk dan dipastikan dipasarkan dengan harga sangat lebih murah. Sebab, produk-produk asing dibuat dengan menekankan sisi ekonomis, efisien, dan rendahnya biaya produksi, namun dengan kualitas yang lebih baik buat konsumen negara-negara ASEAN dan Indonesia juga. Lalu apakah perdagangan bebas dengan China dan negara-negara ASEAN termasuk Indonesia ini akan banyak membawa keuntungan buat para industriawan menengah – keciL bahkan UKM dan para pekerjanya?
Derasnya barang-barang impor yang datang dari China membuat barang-barang produksi lokal akan semakin terjepit seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa barang-barang China dari segi ekonomis bukan saja murah tapi kualitasnya juga lebih baik akan menjadi persaingan yang tidak imbang dengan produk dan barang-barang lokal. Bisa dipastikan ancaman industri yang bangkrut hanya menunggu waktu saja. Atau gelombang PHK para buruh dan pekerja akan silih berganti dan pengangguran merajalela kian nyata di depan mata. Kondisi industri nasional yang semakin tertekan. Rata-rata kapasitas produksi industri nasional diperkirakan akan turun drastis. Secara lebih luas, dampak CAFTA adalah berkurangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya jumlah pengangguran. Dampak FTA ASEAN-China tidak hanya akan dirasakan secara ekonomi, namun juga menjalar ke sektor lain, termasuk sektor sosial.
Terkait potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diperkirakan bisa mencapai 7,5 juta orang, Dampak buruk itu bisa terjadi jika pemerintah tidak melakukan upaya-upaya konkret menahan tekanan CAFTA, seperti membendung serbuan produk-produk impor China dan meningkatkan daya saing produk lokal.
Tahu akan dampak bahaya perdagangan China ASEAN atau CAFTA tentu pemerintah harus lebih melindungi barang-barang dalam negeri dan UKM. Selain itu, pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) di seluruh cabang industri manufaktur harus ditingkatkan. Langkah antisipatif pemerintah dapat dilakukan, antara lain dengan memblokir produk-produk asing tertentu yang masuk dan dipandang mengancam kelangsungan produk-produk serupa buatan lokal. Dan tentunya kesadaran masyarakat akan mencintai produk dalam negeri sangat penting di tengah badai dan membanjirinya produk-produk dari China. Jika bukan kita, lalu siapa lagi yang akan mencintai dan membeli produk dalam negeri kita. Karena jika tidak dampak yang luas dan bisa memicu konflik sosial karena pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan sudah di depan mata kita.AYO CINTAI PRODUK DALAM NEGERI DAN TOLAK PERDAGANGAN CHINA ASEAN SEKARANG JUGA !!!

Dilema Dan Ketimpangan Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA)

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in

Dilema Dan Ketimpangan Perdagangan Bebas
China-ASEAN (CAFTA)

Mulai 1 Januari 2010, kawasan perdagangan bebas antara China dan ASEAN (free trade area/FTA) mulai berlaku. FTA akan melibatkan enam negara ASEAN, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Pada tahap kedua tahun 2015, FTA melibatkan anggota lain, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Negara-negara ASEAN bertekad merealisasikan kawasan perdagangan bebas dengan Cina pada tahun 2010 untuk ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam) dan 2015 untuk Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. ASEAN juga menyambut komitmen Cina untuk menambah investasinya di ASEAN.

Puncak kesepakatan antara negara-negar ASEAN dan China dilakukan pada pertemuan KTT yang juga dihadiri oleh Perdana Menteri China Jiabao. Dalam pertemuan itu telah disepakati dan diteken secara bersama untuk merealisasikan kawasan perdagangan bebas tahun 2010 seperti yang telah direncanakan selama ini, untuk ASEAN-Cina dan 2015 dengan Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. Kawasan perdagangan bebas ini termasuk juga pembebasan perdagangan barang-barang. dalam KTT dalam Rangka Peringatan Hubungan Cina-Asean ke-15 di Multifunctional Hall, International Conference Center (ICC) lantai 2, Hotel Liyuan, Kota Nanning, Cina, Senin (30/10/2006).

Dalam pernyataan bersama ini juga disebutkan bahwa ASEAN merasakan dampak yang positif China-Asean Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation yang ditandatangani pada 2002 di Phnom Penh. Pada 2005, volume perdagangan Cina-ASEAN mencapai US$ 130,37 miliar, dengan total volume investasi Asean di Cina mencapai US$ 3,1 miliar dan investasi Cina di ASEAN meningkat mencapai US$ 158 juta. Terkait hal ini, ASEAN menyambut baik komitmen Cina untuk menambah investasi di ASEAN. Pernyataan bersama ini diteken oleh para kepala pemerintahan/negara ASEAN dan PM Cina Jiabao sebelum KTT ini ditutup. Dari ASEAN, penandatangan pernyataan bersama ini adalah Sultan Brunei Darussalam Haji Hassanal Bolkiah, PM Kamboja Hun Sen, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, PM Laos Bouasone Bouphavanh, PM Malaysia Dato’ seri Abdullah Ahmad Badawi, PM Myanmar Jenderal Soe Win, Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, PM Singapura Lee Hsien Loong, dan PM Thailand Jenderal (Purn) Surayud Chulanont.

Lalu benarkah perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China, khususnya Indonesia akan bayak membawa keuntungan dan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia? Menurut RevrisondBaswir, pengamat ekonomi Universitas Gadjahmada, perdagangan bebas Indonesia dalam hal ini termasuk negara ASEAN akan memicu konflik ekonomi politik dalam negeri, akibat muncul persaingan tidak sehat antar pengusaha (unfair competition). Tak hanya bersaing dengan sesama kawan senegara, pengusaha juga dituntut mampu bersaing dengan serbuan berbagai produk dari negara ASEAN khususnya China. Jika tidak mampu, maka imbas negatif akan banyak terjadi pada UKM dan pengusaha.

Disamping faktor serbuan barang-barang dari China akan melemahkan dan merugikan barang da produk dalam negeri, jelas ini akan merugikan para pengusaha loal menegah ke bawah. Ketidaksesuaikan juga terlihat dari sudut pandang konstitusi, ini, terlihat dari implementasi FTA dengan negara-negara lain sebelumnya seperti Jepang, India, dan Selandia Baru yang belum terlihat hasilnya secara nyata dan signifikan saat ini. Masih menurut Ravrisond, terkait kapan dampak ACFTA dapat dilihat dan dirasakan sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2010, Tentunya bukan hanya sekedar meneken saja. Hal tersebut tergantung dari keseriusan dari pihak pemerintah dan pengusaha dalam menjalankannya.

Pendapat yang sama dijelaskan oleh Anwar Suprijadi, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai. Menurut dia adanya perdagangan bebas dengan China, meskipun konsumsi negara bagus, namun produk yang ada di pasar mulai sudah dipenuhi produk luar, dalam hal ini produk China. Ini berarti uang akan terpecah kepada pihak asing. Industri lokal pun mau tak mau akan tergerus dampaknya. perekonomian Indonesia bisa bertahan karena ditopang konsumsi domestik dengan penggunaan produksi yang masih didominasi produk dalam negeri sehingga peredaran uang sepenuhnya ke dalam negeri. Namun, bila konsumsi domestik yang tetap tinggi dan menggunakan barang impor, maka dampaknya jelas berbeda dan akan mengganggu indutri-industri kecil.

Bukan hanya para pengamat ekonomi namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, bahwa pelaksanaan CAFTA itu semakin memperberat tugas tanggung jawab Dirjen Bea Cukai baru. Pelaksanaan FTA yang mengharuskan pegawai menerapkan peraturan baru jelas tidak mudah. Dia mengingatkan, Bea Cukai juga harus mewaspadai perdagangan ilegal. Pasalnya saat ini bukan hanya barang, melainkan manusia pun menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Pernyataan keberatan jauh hari bahkkan mendesak SBY merevisi atas kebijakan perdangan bebas dengan China juga terdengar dari gedung DPR, para wakil rakyat ini mendesak SBY agar agar meninjau dan merevisi terkait perdagangan ASEAN dan China. Peryataan tesebut diungkapkan para pimpinan Komisi VI DPR RI, yakni Ketua Komisi Airlangga Hartarto (F-PG), Wakil Ketau Aria Bima (F-PDIP) dan Nurdin Tampubolon (F-Hanura) masing-masing, Kamis (18/12), di Gedung DPR RI, Senayan. Pimpinan DPR sudah mengirimkan surat itu kepada Presiden Yudhoyono untuk menyampaikan notice kepada pihak China dan anggota Asean sebelum 1 Januari.

Implikasi Dan Solusi

Kerjasama perdagangan Asean dan China sudah diteken dan diberlakukan sejak 1 Januari 2010, Tetapi, mengutuki terus-menerus perdagangan bebas dengan China bukanlah langkah yang bijak. Walau terlambat, tidak usah ragu-ragu untuk menyusun strategi dagang dengan dua cara, yakni defensif dan ofensif. Jika tidak tentunya CAFTA sudah dipastikan memberi efek yang buruk dan menjadi momok menakutkan bagi para industri kecil dan para pekerja industri itu sendiri, karena Pemberlakuan perdagangan bebas regional itu memang mampu membuat volume perdagangan antarnegara meningkat besar. Hal itu karena produk-produk asing yang masuk dan dipastikan dipasarkan dengan harga sangat lebih murah. Sebab, produk-produk asing dibuat dengan menekankan sisi ekonomis, efisien, dan rendahnya biaya produksi, namun dengan kualitas yang lebih baik.

Tetapi di sisi lain pula bisa menimbulkan tekanan negatif bagi sektor-sektor tertentu yang lebih utama ketimbang memanjakan konsumen dengan pilihan yang beragam, yaitu sektor produksi dalam negeri. Seperti diketahui, bahwa produk-produk lokal selama ini cenderung memerlukan biaya produksi lebih besar. Itu masih ditambah biaya-biaya “siluman” yang dipengaruhi oleh political cost dan sebagainya.

Berbagai masalah klasik seperti birokrasi yang tak efisien, korupsi yang masih marak terjadi, upah buruh yang tidak proporsional, rendahnya transparansi dan akuntabilitas anggaran, regulasi yang menghambat iklim investasi, serta kepastian hukum yang lembek harus segera diatasi jika pemerintah benar-benar ingin FTA dengan China berdampak positif bagi pembangunan nasional. Dan berdampak berupa deindustrialisasi itu akan sangat jelas terpampang di depan mata kita. Deindustrialisasi ini menjadi dampak negatif yang harus ditelan Indonesia dari tersepakatinya CAFTA. Deindustrialisasi itu terutama berkaitan dengan tersisihnya peluang produk-produk lokal yang tergantikan dengan produk-produk asing. Apalagi jika ke depan penguatan industri manufaktur tidak berjalan efektif di tengah serbuan barang impor China.

Ancaman pailit bagi pengusaha lokal berarti juga sinyal peringatan bagi jutaan pekerja yang hidup di bawah industri milik para pengusaha. Sementara para pengusaha kelimpungan kesana-kemari menyampaikan keluhan mereka, pemerintah justru terkesan tak acuh dan berlepas tangan melihat ancaman pengangguran yang meningkat, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan tentu saja tingkat kemiskinan yang berlipat akibat kemungkinan deindustrialisasi yang dihadapi oleh para pengusaha gara-gara FTA dengan China ini. Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan makin tampak setelah perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China ini berlaku akibat makin banyaknya industri yang tutup. Dari perspektif ini, Indonesia tidak memiliki pertahanan sama sekali sehingga implementasi CAFTA cenderung merugikan.

Karena itu, pemerintah harus meninjau ulang mengenai kebijakan pelaksanaan FTA ini. Kalaupun tetap akan dilaksanakan, dia menyarankan agar pemerintah menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan itu antara lain aturan nontarif barier, penggunaan bahasa Indonesia untuk produk luar, SNI, dan benar-benar memperhatikan kualitas produk luar yang masuk ke Indonesia. Jika perlu AFTA China-Asean harus ditunda sambil terus memperkuat kemampuan dalam negeri dari segi industri dan infrastrukturnya. Penundaan ini, guna mempertimbangkan industri nasional yang semakin terpuruk.

Sektor pertanian merupakan salah atu sektor yang akan paling terpukul dengan pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas dengan China. Hal itu, lanjutnya, akan merusak kesinambungan program ketahanan pangan dan produk pertanian nasional yang sekarang baru dimulai. Belum dilaksanakan saja produk pertanian dan buah-buahan impor dari China sudah menyerbu pasar Indonesia hingga ke jajanan di atas kereta api.

Posisi ' Koran’ Mahasiswa

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in

Sama halnya dengan perlawanan muncul tidak dengan tiba-tiba, perbedaan model gerakan mahasiswa pada tiap-tiap generasi yang muncul di 1974, 1978, 80an, 90an sampai dengan aksi massa 1998 dipengaruhi kondisi objektif dan kondisi subjektifnya. Disinilah letak peran penting yang dimainkan oleh yang biasa disebut dengan pers mahasiswa. Kemunculan pers mahasiswa yang paling dramatis dan merupakan capaian yang maksimal adalah di rentang tahun 80-90an. Meski tidak dipungkiri kelahiran pers di mahasiswa telah ada sejak era Orde Lama. Tapi ketika itu pers mahasiswa belum mampu menunjukkan signifikansi yang tinggi terhadap situasi dan perubahan politik. Nah, ketika NKK/BKK diberlakukan di seluruh kampus, seluruh aktivitas politik mahasiswa dibungkam, organisasi mahasiswa dibubarkan dan hanya perkumpulan hanya boleh jika telah atau sesuai dengan ‘titah’ rezim. Adanya cita-cita bahwasanya perlawanan harus disuarakan tisak kemudian menyurutkan mahasiswa untuk tetap bergerak. Maka aktivis mahasiswa pada waktu itu memilih pers sebagai alternatif praktek politiknya yang paling aman, selain banyak juga yang terjun melakukan advokasi pada kasus-kasus rakyat. Hal ini terjadi ketika aktivitas politik di kampus sudah tertutup rapat lewat NKK/BKK. Pada akhirnya gerakan mahasiswa menjadikan pers sebagai sebagai salah satu media perlawanan. Pers mahasiswa menyajikan tulisan-tulisan tajam mengenai dominasi orde baru dan kemiskinan rakyat. Media-media penerbitan dijadikan sarana untuk menyadarkan kondisi rakyat dari ‘floating mass’ dan membangun jaringan informasi kepada kawan-kawan yang ada di belahan kota yang lain. Penerbitan-penerbitan yang muncul di kampus UGM, UI, ITB dan kampus yang lain semakin memperkokoh jaringan perlawanan dan informasi baik rakyat secara keseluruhan maupun sesama mahasiswa.
Apakah pers mahasiswa berperan penting pada peristiwa reformasi 1998? Harus diakui pers mahasiswa memiliki andil terciptanya reformasi. Gegap gempita massa rakyat turun menyuarakan ketidakpercayaannya kepada rezim merupakan buktinya, selain variabel internasional, pertarungan elit kekuasaan yang tergusur dari arena dan pilihan gerakan dari mahasiswa yang terjun melakukan advokasi pada kasus-kasus rakyat. Karena bagaimanapun juga perubahan tidak lahir atas pengaruh variabel tunggal.
Sekelumit pemikiran diatas menjadikan pijakan bahwasanya media-media penerbitan mahasiswa harus tetap dijaga eksistensinya. Bahwa OPZITSII yang pernah dua kali terbit dan beredar di Untag menjadikan kami dipacu untuk segera kembali diterbitkan. OPZITSII-ONLINEjuga sebagai media wacana penyadaran bagi mahasiswa secara umum dan kader pada khususnya lewat dunia Maya.

Arkeologi Gerakan Feminisme

Posted by : Haki Rambu Anarki | Sabtu, 30 Januari 2010 | Published in

Dalam sejarahnya gerakan feminisme mengalami pasang surut, gerakan feminisme mulai muncul seiring dengan semakin berkembangnya tata sosial yang kapitalistik, yang menempatkan perempuan hanya dalam rumah tangga. Gelombang gerakan feminisme yang pertama kali muncul pada pertengahan abad XIX dan terjadi timbul tenggelam sampai akhir tahun 1920. kaum wanita menjadi sangat aktif dalam gerakan anti perbudakan dan mereka juga terlibat dalam gerakan pemberantasan kejahatan, khususnya pengggunaan alkohol dan pelacuran, barangkali yang terkenal adalah Women’s Cristian Temperance Union disekitar masa peralihan ke abad XX. Kaum wanita dibanyak masyarakat industri didorong secara kuat untuk mendapatkan hak untuk memilih.

Negara pertama yang mendapatkan hak pilih kepada wanita adalah New Zealand di tahun 1983; Australia, Swedia, Norwegia dan Finlandia segera mengikuti New Zealand. Sedangkan Inggris dimulai tahun 1918, AS tahun 1920 dan Perancis baru pada akhir tahun 1940-an (Collins dalam sanderson; 423).

Gelombang gerakan feminisme yang kedua mulai lahir pada sekitar dasawarsa 1920 sampai 1960-an, pada saat itu gerakan feminisme menuntut adanya persamaan dengan kaum pria dalam kehidupan sosial dasar yang utama, suatu kesadaran feminisme baru telah yang menganggap dirinya sebagai mitra kaum laki-laki dan patut menerima imbalan sosial dasar yang sama secara tradisional dapat diterima kaum pria.

Arief Budiman (1985) secara umum membagi gerakan perempuan dalam tiga golongan. Pertama, gerakan feminisme liberal. Gerakan ini mendasarkan pada falsafah liberalisme, yakni setiap orang diciptkan dengan hak-hak yang sama dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Gerakan feminisme liberal menganggap bahwa sistem patriarkhal dapat dihancurkan dengan cara mengubah masing-masing individu, terutama sikap perempuan dalam hubungannya terhadap laki-laki. Jika perempuan sadar akan hak-haknya maka akan muncul keseimbangan di dalam masyarakat, dimana laki-laki dan wanita saling bekerja sama atas dasar persamaan.

Gerakan feminisme liberal pada dasarnya berdasar atas aliran fungsionalis struktural dengan kerangka analisisnya adalah masyarakat yang equlibrium, menghindari konflik, reformasi terkontrol, kebebasan dan persamaan. Sasaran gerakannya adalah keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan dalam dunia yang modern. Dalam metode juangnya, gerakan feminisme liberal memiliki dua cara. Pertama, melakukan pendekatan psikologis, kemudian membentuk kelompok-kelompok diskusi yang membicarakan pengalaman perempuan dalam masyarakat patriarkal. Mereka berusaha membangkitkan kesadaran lewat diskusi-diskusi ini, bahwa mereka berada dalam proses penindasan oleh laki-laki. Yang kedua, gerakan ini menuntut pembaharuan produk hukum yang tidak menguntungkan perempuan dan mengubah hukum dengan memperlakukan laki-laki dan wanita secara sama rata.

Gerakan yang kedua adalah gerakan feminisme radikal, yang mendasarkan arah perjuangannya pada karya Kate Millet dan Shulamite Firestone (dalam Budiman, 1985: 38). Gerakan ini melihat bahwa ketertindasan perempuan disebabkan karena sistem patriarkhi yang meletakkan laki-laki lebih superior dan perempuan berada dibawah. Millet melihat bahwa hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat adalah hubungan politik, dia mendefinisikan politik sebagai hubungan yang didasarkan struktur kekuasaan, suatu masyarakat dimana satu kelompok manusia menguasai sekelompok manusia yang lain. Nama struktur itu adalah Patriarkhi. Bahkan Jagger dan rothenberg (dalam Mufidah, 2003; 28) menegaskan bahwa objek penindasan yang paling parah dialami oleh perempuan dalam sistem patriarkhalnya. Ia beranggapan penindasan perempuan yang paling sulit untuk dilenyapkan dan tidak bisa dilakukan dengan perubahan sosial maupun penghapusan kelas.

Dalam metode perjuangannya, gerakan ini berjuang dalam realitas seksual. Dalam realitas seksual, kontradiksi yang ada yaitu antara laki-laki dan perempuan. Gerakan ini memiliki tujuan menghancurkan sistem patriarkhal yang melembaga dalam masyarakat karena bagi mereka keadilan dan kesamarataan akan terjadi bila sistem patriarkhal akan hancur. Bahkan dalam tahapan yang paling ekstrim, gerakan ini mencoba memutus hubungan dengan laki-laki. kelompok ekstrim ini menamakan dirinya kelompok feminis lesbian. Karena menurut kaum feminis lesbian sepanjang wanita masih meneruskan hubungannya dengan laki-laki, maka akan sulit baginya berjuang melawan laki-laki.

Gerakan yang ketiga adalah gerakan feminisme sosialis, mendasarkan geraknya pada teori yang dibangun oleh Engels atau teori-teori marxis pada umumnya. Gerakannya jauh berbeda dengan kaum feminis liberal maupun kaum feminis radikal. Kaum marxis menekankan pada persoalan ekonomilah yang menyebabkan perempuan berada pada subordinasi laki-laki. gerakan feminisme sosialis mendasarkan pada teori substruktur (dasar-dasar material dari masyarakat, yaitu sistem sosial dari ekonomi masyarakat tersebut) dan superstruktur (organisasi masyarakat yang mendukung pembagian hasil-hasil produksi yang pincang ini, misal; produk hukum, sistem nilai-nilai masyarakat, dsb). Berdasarkan asumsi marxis, posisi perempuan yang tersubordinasi merupakan akibat dari sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Kaum feminis sosialis menitikberatkan pada analisis ekonomi suatu masyarakat, bahwa subordinasi perempuan atas laki-laki lebih diakibatkan karena adanya penguasaan yang timpang terhadap ekonomi. Dalam kacamata marxis, patriarkhi dan subordinasi bukanlah persoalan yang utama atau yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran kaum perempuan. Selama corak masyarakatnya masih kapitalistik maka perempuan akan selalu berada pada posisi yang tertindas. Maka dalam metode perjuangannya gerakan feminisme sosialis menganggap bahwa subordinasi perempuan akan hancur ketika masyarakatnya berubah menjadi masyarakat yang sosialistik.

MILITER DALAM PENTAS POLITIK INDONESIA

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in


Krisis ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang selama ini tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima tertinggi ABRI. Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi. Proposisi Kelas Menengah yang secara signifikan mampu menciptakan tuntutan kearah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur hubungan pusat - daerah juga diwarnai oleh dominasi elite Birokrasi - Militer yang berorientasi kepada dukungan pusat, sehingga kurangnya kepentingan dengan penegakkan institusi demokratis di wilayah mereka. Selama 32 tahun lebih telah terjadi penyimpangan yang menghambat proses demokratisasi melalui berbagai kebijakan politik sebagai bagian dari implementasi struktural peran sosial politik ABRI. Selama itu pula militer tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik sepanjang pemerintahan Orde Baru, baik melalui doktrin peran sosial politiknya maupun bentuk perundangan yang menjadi basis legitimasinya.

Ditengah arus gelombang demokratisasi yang begitu kuat melanda negara-negara dunia ketiga ( third world countries ) saat ini telah membuat redifinisi tentang keterlibatan militer dalam politik dan dominos effect yang juga begitu kuat dirasakan Republik ini terutama melalui apa yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan masyarakat sipil dengan cita - cita reformasi total.. Latar belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu, faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun militer akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kekuatan politik.

Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan.

Proses demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat dimana terdapat optimalisasi peran dan fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana dalam political science selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme. Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya the soldier and the state : the theory of civil - military relations, usaha pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer. Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian sipil obyektif. Metode ini dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan - kekuatan sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.

Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI.

Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik.
Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme.

Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik, menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru. Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru.

Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik Indonesia menurut Harold Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar elite penguasa khususnya militer, merupakan faktor kunci untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun perjuanmgan kearah demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperluakan lagi.