div.fullpost {display:none;} div.fullpost {display:inline;}

Peran dan Posisi Koran Kampus dalam Gerakan Mahasiswa

Posted by : Haki Rambu Anarki | Minggu, 14 Maret 2010 | Published in



Dalam setiap perubahan negeri ini selalu melibatkan pemuda dan mahasiswa. Gerakan-gerakan mereka tak bias pungkiri dan sudah tercatat dalam tinta emas sejaraah. Tentu yang paling dingat adalah gerakan mahasiswa ditahun 1966 yang berhasil menggulingkan orde lama dan gerakan mahasiswa ditahun 1998. Gerakan mejadi seperti momok yang menakutkan bagi penguasa rejim, orde baru sadar betul itu sehingga melahirkan kebijakan NKK/BKK yang melegenda dan efeknya masih terasa sampai sekarang.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana gerakan-gerakan mahasiswa itu muncul, bahkan menjadi massif? Apakah gerakan itu muncul karena sekedar dilandasi keprihatinan pemuda dan mahasiswa saja dengan tiba-tiba? Bisa dikatakan demikian, namun ada yang lebih berperan penting dalam terbangunnya gerakan mahasiswa, yaitu karena suasana intelektualitas mahasiswa yang sering berkumpul dan mendiskusikan segala persoalan dan situasi nasional dan tentunya mereka menuangkan hasil gagasan dan diskusi mereka dalam sebuah wadah sebuah Koran kampus atau biasa disebut pers mahasiswa.

Dua factor itulah, menurut hemat penulis sangan berperan penting dalam kemunculan gerakan-gerakan yang ada di kampus dengan terus menerus melakukan konsolidasi pada akhirnya menjadi sebuah gerakan massif mahasiswa. Namun jika dua hal tadi mati dan tidak ada, tentu juga tidak ada sebuah gerakan mahasiswa.

Pers, yang pernah disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah legislatif, eksekutif dan yudakatif menjadi bagian penting untuk mengontrol tiga pilar. Dari asumsi inilah juga pers kampus ingin terlibat dalam bagian oposisi rejim. Dan selalu meyerukan perlawanan pada rejim yang anti rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populis. Pers mahasiswa sebelumnya pada era orde baru sangatlah minim, toh jika ada isi dan beritanya tidak banyak memberitakan dan mengkritisi kebijakan dan sepak terjang rejim, namun lebih pada seputar kegiatan kampus. Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK telah banyak mengebiri dan kebebasan pers mahasiswa pada waktu itu. Lalu bagaimana bisa jika tidak ada peran pers kampus, gerakan mahasiswa bisa menjadi massif ditahun 1998, diskusi-diskusi secara sembunyi-sembunyi dan advokasi serta terjun dalam basis-basis rakyat rupanya telah dilakukan para mahasiswa era 1990 – 1998. seperti yang sudah di utarakan oleh penulis di atas.

Pers mahasiswa begitu menjamur ketika reformasi dan sesudahnya. Berkah dari reformasi rupanya telah membuka keran yang selama ini tersumbat. Hampir disetiap kampus baik negeri dan swasta berlomba-lomba untuk mendirikan dan menerbitkan Koran, bulletin, leaflet dan majalah kampus. Isinya tentu sangat bermacam-macam, bahkan lebih cenderung sebagai media propaganda kritik dan perlawanan terhadap rejim serta seruan untk terus meneruskan reformasi yang telah dianggap jalan ditempat. 

Baik dari layout yang sederhana sekedar hasil print dan cetakan photo copy sampai pada terbitan majalah dengan layout yang wah… persma (pers mahasiswa) menjadi kekuatan tersendiri yang independent dalam mengontrol tiga pilar yang lainnya ataupun sekedar kegiatan-kegiatan yang ada di kampus semua menjadi bidikan berita bahkan isu-isu nasional kerap dikabarkan dan dilawan melalui pers mahasiswa.

Namun seiring perjalan, dari generasi ke generasi pers mahasiswa menjadi kkehilangan tajinya dan lebih celakanya diskusi juga pun semakin berkurang, karena terjadi pergeseran gaya hidup mahasiswa yang lebih suka hura-hura dari pada mengasah intelektualitasnnya. Tentu jika dua hal itu hilang dan punah jangan berharap akan muncul sebuah gerakan mahasiswa yang siap berpihak pada rakyat.

Inilah kemudian menjadi tantangan bagi mahasiswa sekarang untuk terus menghidupkan lagi suasana, kekritisan dan kesadaran peran dan posisi penting mahasiswa sebagai agen control dan perubahan yang telah terukir dalam sejarah. Jelas ini tidak mudah, diperlukan kepeloporan dan pelatihan serta diklat pers kampus yang biasanya sering dilakukan oleh senior-senior mereka dahulu. Dan yang tak kalah penting lagi adalah hasil dari pelatihan dan diklat jurnalistik yang pernah diadakan bukan hanya sekedar pelatihan dan diklat saja tapi keberlanjutan untuk menghidupkan lagi pes kampus dengan terbitan-terbitan kampus, tentunya siap ditunggu dan perlu segera direalisasikan.

KAMUS PR (Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag ‘1945 Surabaya Pro Rakyat) sebagai salah satu organisasi yang turut serta dalam gerakan mahasiswa reformasi 1998, berupaya keras agar tradisi pers kampus dan diskusi tidak punah. Karena KAMUS PR sebagai organisasi gerakan mahasiswa tentunya tidak menginginkan kepunahan tradisi diskusi dan penerbitan pers kampus akan menjadi efek domino kekritisan mahasiswa juga akan hilang. Ini dibuktikan dengan masih eksistansinya Opzitsii sebagai bulletin propaganda KAMUS PR baik cetak dan online masih ada dan Perma Aufklarung Untag yang notabene didirikan oleh kawan-kawan KAMUS PR telah menunjukan hasil meski segal keterbatasan mulai dari financial dan tenaga kerjanya dirasa kurang, namun KAMUS PR patut bersyukur bahwa eksistansinya tidak ikut terhapus dari kampus. 

Dan untuk langkah selanjutnya, diharapkan akan menjadi massif dan lebih professional dalam kepengurusan dan penerbitannya. Pentingnya media pers tidak terbantahkan lagi, di era transformasi informasi yang begitu cepat media sangat berperan penting dalam kehidupan. Pers sebagai pilar demokrasi keempat sekarang jauh dari harapan rakyat, karena rata-rata lebih pada profit oriented dan pro status quo, lalu harapan satu-satunya tentu pada pers mahasiswa yang masih murni dan berpihak pada rakyat.

Benar adanya, jika pers di Indonesia sekarang lebih bebas dan tidak perlu takut dengan pembredelan ketika era orde baru dulu, namun yang perlu dikritisi bahwa media sekarang lebih banyak pro terhadap pasar dan pemodal. Sedangkan pers dan media yang masih ingin benar-benar ingin konsistensi pada tugas dan fungsinya mulai terancam pada RUU dan UU yang siap menjadi momok yang menakutkan. Lihat saja pada UU No 11/2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 dan 45. kemudian UU No 14/2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam pasal 51 dan 54. Lalu ada UU No 44/2008 tentang Pornografi ( dalam definisi pornografi dalam UU ini sangat lentur) pada pasal 29 yang menyebutkan “ mengancam orang yang memproduksi, memperbanyak, menyebarkan luaskan, menyiarkan dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/ atau denda sedikitnya Rp 250 jta dan paling banyak 6 Miliar). Dan tambahan dari UU No 10/2008 tentang Pemilu dalam pasal 28 dan 99. kesemuanya secara tidak langsung menjadi pengkebiran pers/ baik cetak maupun elektronik nasional, dengan ancaman yang rata-rata sangat berat dan denda yang sangat fantastis. Tentu itu bertujuan untuk membuat kaum jurnalis mati kutu dan bangkrut sehingga akan tutup dengan sendirinya. Inilah yang kemudian rejin SBY-Kalla dan sekarang SBY-Boediono sebagai rejim orde baru jilid II. 

Jika demikian, lalu harapan satu-satunya tentu pada eksistensi pers mahasiswa yang akan selalu senantiasa terdepan dalam control dan oposisi bagi rejim serta sebagai media perlawanan. Apalagi menjamurnya internet telah membuka peluang media yang murah meriah untuk terus mengabarkan dan perlawanan terhadap pemerintah yang anti rakyat. Ini menjadi tugas kita sebagai mahasiswa. Untuk itu mari terus hidupkan pers mahasiswa sebagai pers yang independen dan sebagai kontrol untuk rejim yang semakin hari semakin menunjukan belangnya.  

Amir Baihaqi
Ketua umum KAMUS PR 






Organisasi; Tempat Bertarung atau Apa ?

Posted by : Haki Rambu Anarki | Kamis, 11 Maret 2010 | Published in


Mungkin kita bosan jika harus membaca sebuah tulisan mengenai organisasi, karena banyak sekali tulisan yang mengulas tentang organisasi, tentang pentinglah, tentang organisasi yang baik lah, tentang tujuan lah yang isinya begitu-begtu saja. Atau mungkin kita sudah tidak perlu lagi membaca tulisan-tulisan mengenai organisasi.

Penulis tidak hendak mengulang tulisan-tulisan yang biasa kit abaca. Oleh karena itu pembaca tidak perlu merasa sudah tahu apa yang ingin penulis sampaikan. Karena sunggu, penulis yakin pembaca tidak akan merasa sia-sia setelah membaca ini, kecuali anda sudah sangat muak dengan organisasi dan mengaggap organisasi adalah sebuakeompok yang haram untuk digeluti. Meskipunkondisi material pembaca sudah sangat mengharuskan anda berorganisasi.

Biasanya kita menganggap organisasi adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan yang sama, dikarenakan memiliki tujuan yang sama maka akan diwujudkan bersama-sama di dalam organisasi. Meskipun di dalam organisasi tersebut terdiri dari berbagai macam karakter, namun karena dilandasi oleh tujuan yang sama maka mereka bekerja bersama-sama untuk mewujudkan tujuan yang termanifestasi dalam organisasi.

Yahh…. Anggaplah tersebut adalah benar adanya, penulisyakin tidak akan ada orang yang akan membantah definisi sederhana mengenai organisasi tersebut. Lalu pertanyaan kemudian adalah sesederhanakah oraganisasi itu? Yakinlah bahwa meski dengan karakter yang berbeda-beda organisasi akan berjalan lancer adanya? Terlebih dahulu mari kita diskusikan hal tersebut.

Contoh sederhana dan sangat dekat dengan dinamika mahasiswa, pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa atau BEM. Biasanya dalam pemilihan tersebut ada dua sampai empat kandidat yang akan memperebutkan kursi ketua. Untuk perebutan kursi, para kandidat tersebut saling berebut simpati calon pemilih dengan cara yang beragam, mulai dari kampanye damai sampai dengan black campaign dengan mendeskreditkan calon yang lain karena dianggap musuh politiknya, begitu biasanya sebutannya. Para kandidat tersebut saling klaim kiri-kanan dengan memunculkan bahwa dirinya lah yang terbaik dan paling hebat. Dus, strategi dan taktik kampanye yang paling baiklah yang akan menang.

Pada saat salah satu kandidat terpilih menjadi ketua kemudian ia membentuk structural organisasinya, dalam pembentukan structural ini tentu saja ketua terpilih akan memilih orang-orangnya saja atau satu dua orang musuhnya. Memilih orang-orangnya saja dengan asumsi bahwa melaui orang-orangnya maka organisasi akan mudah diatur serta dikotrol geraknya memlaui sosok kepemimpinan tunggal, meskipun tidak mau disebut begitu. Memilih satu dua orang bekas musuhnya saat perebutan kursi, dengan asumsi bahwa mengakomodir kelompok lain atau biasanya dikarenakan agar musuh politiknya tersebut tidak menggangu stabilitas kepemimpinannya, maka pilihanya yang paling rasional adalah diberikan sedikit kue kekuasaan agar tidak merecoki.

Setelah terbentuk structural apakah kemudian organisasi akan berjalan sesuai rencana? Jawabannya adalah tidak !! meskipun organisasi terdiri dari orang-orangnya dan satu dua orang musuhnya, tetap saja di dalamnya akan muncul gesekan sana-sini, mulai dari rasan-rasan anggota yang dianggap jeleklah, tidak becuslah, ketua yang tidak menyerap aspirasi anggotalah, korupsi disana-sinilah, sampai pada isu penggulingan ketua. Boro-boro mewujudkan tujuan, selama periode tertentu organisasi akan disibukan dengan sikut sana-sini, organisasi lebih disibukan meredam gejolak dalam internal organisasi daripada melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Dus, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan hanya untuk seremonial saja, asal ada…. Selesai. Tidak lagi terpikir sebuah kegiatan yang subtansial.

Contaoh tersebut sepertinya menjadi hal umum dalam organisasi manapun, mulai dari tingkat RT/RW, Karang Taruna, organisasi mahasiswa, Ormas, partai politik sampai dengan organisasi termodern yaitu pemerintahan Negara, presiden beserta para menterinya. Hanya saja berbeda dalam meminimalisir konflik organisasinya. Lalu pertanyaan yang sangat menggelitik benak penulis adalah jika memang begitu adanya, buat apa berkumpul (berorganisasi)? Jika di dalamnya hanya berisikan pertarungan antar manusia satu dengan yang lainnya.
Mungkin akan banyak menjawab bahwa tentu tujuan organisasi tidak bias dilepaskan oleh konflik, malahn dengan konflik maka organisasi tersebut akan menjadi berkembang atau dengan bijaksana menjawab organisasi harus dilandasi oleh komitmen bersama orang-orang yang ada di dalamnya agar tujuan mampu tercapai dengan baik. Jawaban-jawaban itu tentu saja benar dan tidak ada yang salah, tetapi bukankah pada awal pembentukan structural baru atau setiap kali rapat, kata-kata komitmen terhadap organisasi selalu didengungkan? Bukankah pada kenyataannya dengan konflik, organisasi menjadi sekumpulan geng yang sikut sana sikut sini? Bukan konflik justru menhancurkan cita-cita organisasi, bukan malah membangun? Pada kenyataanya hal tersebut memang terjadi.

Berkaitan dengan materi manajemen organisasi, maka penulis akan menjawab mengelola oraganisasi yang paling awal harus dilakukan adalah dengan cara merekatka antar bagian-bagian di dalam organisasi melaui kedekatan emosional. Bukan main-main, kedekatan emosional dibangun pada tataran paling dalam, saling memback-up kekurangan masing-masing, sampai dengan menceritakan hal yang paling rahasia kekpada kawan berorganisasi. Dengan asumsi bahwa hanya dengan kawan (organisasi) segala sesuatu itu diceritakan dan dibicarakan. Karena semua orang diluar kawan adalah sebatas teman atau paling berbahaya adalah musuh. Hanya kawanlah yang tiak memiliki kepentingan merusak, hanya kawan lah yang bias merumuskan dan mewujudkan tujaun bersama, bukan teman atau musuh. Untuk mengetahui bahwa orang tersebut kawa atau bukan tentu saja bukan persoalan mudah. test case-nya adalah harus ada kepeloporan pemimpin dan kelompok kecil yang memang terlebih dahulu dipersiapkan. Kepeloporan dan kelompok kecil itulah yang akan menggawangi organisasi, lebih jauh untuk menyiapkan kawan berikutnya. Hal ini bias disebut sebagai prinsip persekawanan, dan yang dipersiapkan sebagai kawan berikutnya disebut sebagai kader. Lho, bukankah dalam organisasi biasanya juga disebut kata-kata kader? Apakah setiap pelatihan atau kaderisasi organisasi seluruh orang disebut kader organisasi? Bagi penulis kader sesungguhnya adalah kawan, bukan teman, bukan massa dan bukan musuh. Kawan adalah kawan, dengan banguna prinsip persekawanan. Jika prinsip persekawanan tidak pernah terwujud maka orang dalam organisasi tersebut tidak layak disebut kader.

Jika judul artikel ini adalah “ organisasi; tepat bertarung atau apa? “ maka penulis akan mengisi bagian “ Apa” dengan kata-kata TEMPAT BERSEKAWAN dan tentnu saja dengan tegas memilih jawaban yang kedua. Wassalam. 


Syamsul Muarif

Mantan Ketua Umum KAMUS PR

STATEMENT KAMUS PR

Posted by : Haki Rambu Anarki | Senin, 08 Maret 2010 | Published in

Kesatuan Aksi Mahasiswa UNTAG 1945 Surabaya Pro Rakyat
  KAMUS PR
  Jl. Nginden I/2A Surabaya, (031) 5963728, email: sajap_kiri@yahoo.com
  Contact Person : Ketua Umum KAMUS PR, Haki - 088 1320 2672

  STATEMENT No : 03/IV/kamus_pr/fp_st/06
   
  USIR FREEPORT DARI BUMI PAPUA
  SERTA TOLAK INTERVENSI APARAT BERSENJATA
  SEKARANG JUGA !!
   
   
  FREEPORT adalah perusahaan pertambangan Amerika, bermarkas 
di New Orleans. Sebuah korporasi global yang tidak mengenal batas 
negara dan memiliki kepentingan mengakumulasikan keuntungan lewat 
eksploitasi sumber daya di negara lain. Freeport Sejak tahun 1960an telah 
melakukan penggalian tembaga di Irian Jaya (sekarang Papua). Mencuatnya 
kembali kasus Freeport setelah pemerintah terus mendesak agar eksploitasi 
oleh Freeport dioperasikan kembali. Namun, upaya itu mendapatkan 
perlawanan dari rakyat papua yang terus mempertahankan tanahnya dengan 
memblokade jalan masuk ke PT Freeport. Perlawanan yang akhirnya berbuntut 
tewasnya 3 anggota Brimob dan 1 anggota TNI AU. Yang sebelumnya juga telah 
menewaskan warga Timika. Pasukan bersenjata akhirnya melakukan 
‘serangan’ membabi buta pada mahasiswa UNCEN dan menangkap sekitar 40 orang 
mahasiswa.
  Cerita klasik penindasan yang diproduksi oleh tata dunia 
yang kapitalistik seakan tidak pernah hentinya. Hari ini kita kembali 
menyaksikan arogansi kapitalis internasional yang ingin merampok tanah 
indonesia lewat Freeport yang melakukan penggalian emas di Papua 
mengandung cadangan bijih emas terbesar di dunia sebanyak 2,5 miliar ton. 
Sewaktu rezim orde baru eksploitasi oleh Freeport diakomodir penuh. Rezim 
yang berhaluan Neoliberalisme telah menghantarkan korporasi raksasa itu 
mengacak-acak sendi-sendi ekonomi rakyat. Asumsi modal asing yang masuk 
ke Indonesia akan mampu mendorong rakyat sejahtera hanya bualan semata. 
Pertama, rakyat tidak pernah mendapatkan apa-apa dari penambangan oleh 
Freeport, baik rakyat papua maupun sumbangan terhadap perekonomian 
nasional. Antara tahun 1992 hingga 2002, Freeport memproduksi 5,5 juta ton 
tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas. Bayangkan berapa triliun 
rupiah yang dibawa lari ke luar negeri setiap tahunnya. Tahun 2003
Freeport meraih untung bersih 484 juta dollar Amerika Serikat atau 
naik dari tahun 2002 sebesar 398,5 juta dolar AS dan mendapatkan 484 juta 
dolar AS di tahun 2001. Namun, menyumbang hanya 1,3 hingga 1,6 persen 
bagi devisa negara . Apakah keuntungan yang diraup oleh Freeport 
memberikan kesejahteraan rakyat papua khususnya dan indonesia secara umum? 
Rakyat papua yang masih bergelimang dalam lumpur kemiskinan dan serta 
kemiskinan massal yang di tahun 2005 telah mencapai 60% dari jumlah seluruh 
rakyat indonesia adalah bukti bahwa Freeport tidak pernah menyumbang 
kesejahteraan rakyat Indonesia. Freeport hanya akan menciptakan rakyat 
semakin termarjinalkan secara ekonomi.
  Kedua, Freeport telah ‘menyumbang’ tercemari dan rusaknya lingkungan. 
Karena proses ekplorasi dan eksploitasi Freeport berdampak buruk 
terhadap ekosistem. Tak hanya kerusakan alam pada tanah Erstberg dan 
Grasberg, tapi juga pencemaran lingkungan atas jalur-jalur aliran sungai. 
Ekploitasi itu merusak kondisi alam dan tanah yang sebelumnya menurut 
kepercayaan suku setempat dipandang sebagai area yang ‘keramat’, selain 
sebagai daerah sumber kehidupan sehari-hari seperti berburu binatang bagi 
keperluan makan. Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 
ribu metrik ton bahan tambang, dimana hanya 3% saja yang dipakai. 
Sisanya sebanyak 97% yang berbentuk Tailing menjadi sumber limbah yang 
merusak. Di tahun 1996 saja ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal 
dihasilkan tambang tersebut selama beroperasinya. Dan telah memberikan 
pencemaran dan linkungan, baik hutan, danau dan sungai serta kawasan tropis 
seluas 11 mil persegi. Di tahun 2004 limbah Freeport mengandung
37.500 miligram seraya sungai memasuki dataran rendah dan 7500 
miligram ketika sungai memasuki Laut Arafura. Praktek ini merupakan acaman 
terhadap ekosistem. 
  Ketiga, praktek kekerasan oleh pasukan bersenjata selalu mewarnai 
kasus Freeport. Kemelaratan rakyat papua ditambah dengan munculnya 
aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik itu TNI, Polisi 
ataupun sipil yang dipersenjatai. Segala bentuk perlawanan untuk 
mempertahankan tanah mereka selalu terselesaikan dengan kekerasan. Peristiwa 
tertembaknya warga Timika adalah contoh bahwa hanya dengan jalan 
kekerasan perlawanan rakyat mampu teredusir. Tewasnya 4 aparat dijadikan 
alasan bagi pemerintah untuk semakin menggebuk perlawanan rakyat. Kita 
ingat Orde Baru memakai intervensi militer untuk melindungi berlangsungnya 
akumulasi modal oleh Freeport. Pada masa orde baru tercatat sebanyak 
sejumlah 2000 personel Kopasus dan Kostrad ditempatkan di wilayah itu di 
bawah perintah langsung Presiden Soeharto, dan sebagai imbalannya 
Freeport memberikan kompensasi dana 40 juta dolar Amerika. Dalam masa itu 
rakyat papua menghadapi merebaknya intimidasi, penganiayaan,
pembunuhan dan penangkapan serta penghilangan warga yang melakukan 
protes dengan tuduhan sebagai anggota OPM. Sepanjang dominasi orde baru 
sebanyak 36 orang dinyatakan terbunuh. Hari ini komposisi kekuatan TNI 
yang diturunkan di Freeport adalah Paskhas 1 SSK, Marinir 1 SSK, TNI AD 1 
Batalyon, Korem 1 Unit dan dibantu Kodim Mimika. Sedangkan untuk sipil 
yang dipersenjatai (Satpam) berjumlah 630 orang. Anggota Polri yang 
ikut meramaikan suasana ada 1 Kompi Brimob, 1 Unit Gegana, dan Polres  
Mimika. Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah buat apa pasukan 
sebanyak itu? Tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menjaga aset dan 
kepentingan asing yang ada di Papua khususnya Freeport, militerisme masih 
menghantui proses demokratisasi di negeri ini. Rezim masih memilih 
pendekatan represif terhadap penyelesaian persoalan–persoalan yang ada di 
rakyat.
  Kebijakan rezim SBY-Kalla pada persoalan Freeport ternyata 
tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dipraktekkan oleh Orde Baru. 
Kebijakan yang masih berhaluan Neoliberalisme, kepentingan asing adalah 
segala-galanya, menjaga aset-aset mereka menjadi kewajiban pemerintah. 
Jika hal itu terus dilakukan maka Kesejahteraan akan semakin menjauh 
dari rakyat dan represifitas akan terus mewarnai demokratisasi negeri 
ini. Tidak ada jalan lain bagi rezim SBY-Kalla dengan berani memangkas 
hubungan dengan kapitalis asing macam Freeport, dan lebih memberdayakan 
masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdayanya. Karena selubung kejam 
Neoliberalisme akan semakin meruntuhkan sendi-sendi ekonomi, sosial dan 
politik rakyat Indonesia. Dan rezim SBY-Kalla harus tegas menentukan 
keberpihakan mutlak hanya untuk rakyat!!
  Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag 1945 Surabaya Pro Rakyat (KAMUS PR) 
menyerukan kepada segenap elemen rakyat untuk lantang meneriakkan dan 
menuntut;
   
  1. Tutup dan Usir Freeport Dari Bumi Papua 
  2. Usut tuntas kasus korupsi pertambangan di Indonesia
  3. Stop Militerisme dan serukan Demiliterisasi di Papua
  4. Tarik TNI dan Polri dari Papua
  5. Usut tuntas pelanggaran HAM konflik Freeport
  6. Tuntut perusakan dan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh 
Freeport
   
   
  Ayo Lantang Teriakkan
   
  USIR FREEPORT DARI BUMI PAPUA
  SERTA TOLAK INTERVENSI APARAT BERSENJATA
  SEKARANG JUGA !!!
   
   
  BANGUN PEMERINTAHAN YANG ADIL DAN SEJAHTERA SECARA EKONOMI SERTA 
DEMOKRATIS SECARA SOSIAL POLITIK
  HANYA UNTUK RAKYAT !!!



Nasionalisasi Bank Venezuela : Langkah Berani Hugo Chaves

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in


Pada tanggal 31 Juli, Chavez mengumumkan nasionalisasi Bank Venezuela (Banco de Venezuela) yang dimiliki oleh perusahaan multinasional Spanyol, Grupo Santander. "Kita akan menasionalisasi Banco de Venezuela. Saya mengajak Grupo Santander untuk datang kesini supaya kita bisa mulai bernegosiasi". 

Berita ini adalah berita yang menggembirakan, dan merupakan salah satu langkah yang tepat untuk menyelesaikan kontradiksi di dalam revolusi Bolivarian. Walaupun minyak yang merupakan sumber ekonomi terbesar di Venezuela sudah dinasionalisasi dan merupakan pilar ekonomi dimana hampir semua program sosial Venezuela (yang kerap disebut Mission) bersandar, makro ekonomi di Venezuela masih ada di tangan oligarki lokal dan modal asing. Perbankan merupakan sendi utama ekonomi negara yang mengatur jalannya kredit, modal, dan investasi; dan ini masih ada sepenuhnya di tangan kapitalis untuk melayani kepentingan mereka. Ini adalah kontradiksi yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, kita harus menyambut nasionalisasi Bank Venezuela sebagai satu langkah maju untuk menyelesaikan kontradiksi ini. 

Seperti halnya nasionalisasi pabrik besi SIDOR belum lama ini (Chavez re-nationalises SIDOR: historic victory for the workers), maka nasionalisasi Bank Venezuela akan memberikan dorongan dan semangat kepada rakyat pekerja untuk menuntut ekpropriasi ekonomi dari tangan kapitalis, tuan tanah, dan bankir; dan bukan hanya menuntut, tetapi melakukannya sendiri di bawah kontrol buruh. 

Akan ada orang-orang yang mengeluh "Tetapi, ini adalah kebijakan dari atas, dari elit, bukan dari rakyat. Revolusi haruslah dibangun dari bawah." Tetapi permasalahannya bukan ini, yang kita hadapi sekarang adalah Chavez menyerukan nasionalisasi bank. Apakah kita akan menolaknya hanya karena ini datang dari inisiatif di atas, bukan dari bawah? Tentu saja tidak, kita dukung inisiatif ini karena ia akan memberikan semangat kepada rakyat pekerja untuk menuntut nasionalisasi ekonomi Venezuela di bawah kontrol buruh. Kita dukung sembari kita juga serukan: "Ini adalah langkah yang tepat, tetapi nasionalisasi setengah-setengah tidak akan cukup untuk menyelesaikan kontradiksi ekonomi di dalam revolusi Bolivarian. Kita perlu menasionalisasi seluruh perbankan dan sektor finansial, ini adalah kondisi yang diperlukan untuk membentuk ekonomi sosialis yang terencana. Serta kita juga harus menasionalisasi tanah dan perusahaan-perusahaan besar. Semua di bawah kontrol buruh." 
Seruan Chavez

Di dalam acara TV nasional, Chavez mengatakan: "Beberapa bulan yang lalu, saya menerima informasi bahwa Banco de Venezuela, yang sudah diprivatisasi bertahun-tahun lamanya, akan dijual oleh pemiliknya di Spanyol; bahwa sebuah perjanjian telah ditandatangani oleh Grupo Santander dan sebuah perusahaan bank swasta di Venezuela ... kemudian saya kirim sebuah pesan kepada mereka bahwa pemerintah Venezuela ingin membeli bank tersebut, kita ingin mengambilnya kembali. Kemudian pemilik bank tersebut mengatakan ‘tidak, kami tidak ingin menjualnya'. Jadi sekarang saya katakan ‘tidak, saya akan membelinya. Harganya berapa? Kita akan membayarnya, dan kita akan menasionalisasi Bank Venezuela' ". 

"Dari sini, kampanye media dari Spanyol dan internasional akan mulai. Mereka akan mengatakan bahwa Chavez adalahs seorang otokrat, bahwa Chavez adalah seorang diktatur, saya tidak peduli, kita tetap akan menasionalisasi bank ini". 

"Ada yang aneh disini karena sebelumnya pemilik bank tersebut benar-benar ingin menjualnya, dan sekarang mereka katakan bahwa mereka tidak ingin menjualnya kepada pemerintahan Venezuela. Kita akan menasionalisi Bank Venezuela supaya bank tersebut digunakan untuk melayani kepentingan rakyat Venezuela...Laba bank tidak akan diambil oleh grup-grup swasta, tetapi laba ini akan diinvestasikan di dalam proyek sosialis". 

Chavez juga mengatakan bahwa simpanan para pelanggan Bank Venezuela akan dijamin, dan pekerja-pekerja bank tersebut tidak akan kehilangan pekerjaannya. Justru kondisi mereka akan meningkat seperti halnya dengan pekerja di perusahaan SIDOR setelah nasionalisasi. 
Perbankan Venezuela 

Bank Venezuela adalah salah satu bank terbesar di Venezuela yang menguasai 12 persen usaha kredit di Venezuela. Pada pertengahan tahun 2008, bank ini meraih laba sebesar 170 juta dollar Amerika (1500 milyar rupiah), ini meningkat 29% dari tahun sebelumnya. Bank Venezuela memiliki 285 cabang dan 3 juga pelanggan, dan aset sebesar 891 juta dollar Amerika. 

Setelah krisis ekonomi pada tahun 1994 dimana 60% sektor perbankan ambruk dan bangkrut, Bank Venezuela dinasionalisasi. Tetapi 2 tahun kemudian bank ini diprivatisasi dan dibeli oleh perusahaan multinasional Grupo Santander dari Spanyol dengan harga yang sangat kecil, yakni 300 juta amerika dollar. Dalam waktu 9 bulan, Grupo Santander sudah balik modal. Tahun 2007 saja bank ini meraih laba $325.3 juta dollar, ini sudah melebihi apa yang mereka bayar untuk membeli bank tersebut. 

Ini tentu mengingatkan kita kepada krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997, dimana perbankan Indonesia ambruk dan negara Indonesia ‘terpaksa' (atau dipaksa) membayar semua hutang mereka dengan BLBI sebesar 13 milyar juta dollar (122 trilyun rupiah, saat itu ini adalah setengah dari anggaran negara). Dalam kata lain, negara Indonesia menasionalisasi hampir semua sektor perbankan di Indonesia. Tetapi tentu ada bedanya, disini pemerintah Indonesia menasionalisasi hutang bank-bank tersebut. Aset-aset bank-bank tersebut lalu dikumpulkan di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) untuk ‘disehatkan' dan kemudian dijual kembali ke pihak swasta dengan harga yang sangat murah. 

Sekarang, perbankan di Venezuela dikuasai oleh empat grup: BVVA dan Grupo Santander dari Spanyol, serta dua bank lokal, Mercantil dan Banesco. Grupo Santander adalah perusahaan bank terbesar di Amerika Latin dengan 4500 cabang, dan sepertiga laba mereka datang dari Amerika Latin. Ini adalah contoh bagaimana modal asing mengeruk sumber daya Amerika Latin. 
Privatisasi Laba, Nasionalisai Hutang

Para ahli ekonomi kapitalis sudah mulai memprotes langkah Chavez ini. Ahli ekonomi dari Goldman Sachs, Alberto Ramos, mengatakan: "Saya tidak setuju kalau perbankan harus berada di bahwa sektor publik. Sektor swasta lebih efektif dalam menjalankan perbankan." Sunguh sebuah kemunafikan! Kita sudah lihat bagaimana efektifnya perbankan swasta di Indonesia, yang bangkrut dan harus diselamatkan oleh negara. 

Bukan hanya di Indonesia, tetapi di negara-negara maju, perbankan swasta sudah mulai berjatuhan dan harus diselamatkan oleh negara. Belum lama ini, Federal Bank Reserve di Amerika Serikat harus menyelamatkan Bear Stearns dan membayar 29 milyar dollar Amerika untuk memfasilitasi penjualannya kepada JPMorgan. Di Inggris sendiri, salah satu bank terbesar, Northern Rock, ambruk dan harus dinasionalisasi. Nasionalisasi Northern Rock memakan biaya sebesar 40 milyar dollar, dan ini harus ditanggung oleh rakyat pekerja Inggris. Lalu, dua perusahaan kredit rumah terbesar di Amerika, Fannie Mae dan Freddie Mac, yang diambang kebangkrutan, harus diselamatkan oleh negara yang mengucurkan dana sebesar 25 milyar dollar. Kalau untuk menyelamatkan aset-aset mereka dan membayar hutang mereka, para ekonom ini tidak menolak nasionalisasi. 

Inilah slogan kaum kapitalis: Privatisasi Laba, Nasionalisasi Hutang! Sungguh suatu kemunafikan yang tiada tara. Kapitalisme sudah menjadi sebegitu bangkrutnya dan bobroknya. Semua nilai-nilai kapitalisme mengenai pengambilan resiko dan kompetisi sudah tidak lagi valid. Tidak ada lagi pengambilan resiko, karena kalau mereka bangkrut dan terjebak hutang, maka negara akan ‘menyelamatkan' dan ‘menyehatkan' mereka dengan menggunakan uang rakyat pekerja. Dengan semakin memusatnya kapital di tangan beberapa individual, tidak ada lagi kompetisi, yang ada hanya monopoli dengan ilusi kompetisi. Memang dulu, nilai-nilai kapitalisme ini adalah suatu hal yang progresif secara historis; ia menghancurkan feudalisme yang sudah bangkrut, dan mengembangkan kekuatan produksi. Akan tetapi sekarang kapitalisme sudah menjadi parasit. 
Nasionalisasi Dengan Kompensasi

Tentu akan ada beberapa orang yang meragukan nasionalisasi ini karena Chavez menawarkan untuk membeli bank tersebut, dan bukan menyitanya. Tetapi, masalah kompensasi ini bukanlah masalah prinsip. Marx juga tidak menolak kemungkinan untuk memberikan kompensasi kepada kaum kapitalis Inggris dalam menasionalisasi alat-alat produksi mereka, dan ini dengan tujuan untuk meminimalisasi perlawanan dari mereka. Dan kalau boleh saya tambahkan, ini juga akan mengekspos kemunafikan nilai-nilai kapitalisme. Para kapitalis bersama-sama dengan media bayaran mereka akan menyerang Chavez dan langkah nasionalisasi ini, dan rakyat pekerja sedunia akan melihat bahwa serangan-serangan tersebut hanyalah berdasarkan kemunafikan dan keserakahan. Grupo Santander berniat menjual Bank Venezuela ke pihak swasta. Tetapi ketika pemerintahan Chavez ingin membelinya guna kepentingan publik, mereka menolaknya. Ini akan membuat geram rakyat pekerja, mereka akan berseru: "Kalau mereka menolak, kita sita saja semuanya!" 

Akan tetapi, kita tidak boleh berpikir seperti kaum reformis yang mengatakan bahwa kompensasi harus diberikan sesuai dengan harga pasar. Kebijakan kita adalah kompensasi minimum, dan hanya diberikan kepada pemegang saham kecil dan yang benar-benar membutuhkannya. Tidak ada kompensasi untuk mereka-mereka yang sangat kaya! Kita hitung kompensasi mereka dari laba-laba yang sudah mereka peroleh semenjak memperoleh Bank Venezuela. Grupo Santander membeli Bank Venezuela seharga 300 juta dollar, dan mereka sudah balik modal berulang-ulang kali. Jadi tidak ada alasan untuk membayar mereka sesen pun. 
Nasionalisasi Penuh di Bawah Kontrol Buruh

Akan tetapi, janganlah kita terjebak dengan teknikalitas proses nasionalisasi ini. Hal yang terpenting adalah rakyat pekerja melihat nasionalisasi ini sebagai sebuah serangan terhadap kaum kapitalis, terhadap kepemilikan pribadi mereka yang sakral. Ini akan memberikan dorongan bagi rakyat untuk semakin mempertanyakan hak kepemilikan para kapitalis ini. Para kapitalis pun mengerti besarnya pengaruh sosial dan politik dari langkah ini, maka dari itu mereka beramai-ramai menyanyikan lagu lama mereka: "Chavez adalah seorang diktatur, ini akan menghancurkan perekonomian Venezuela", dsb. Tugas setiap pendukung revolusi Bolivarian adalah untuk mendukung proses ini, dan mendorongnya untuk lebih maju. Nasionalisasi setengah-setengah tidak akan menyelesaikan kontradiksi ekonomi di Venezuela. Kendali ekonomi masih dipegang oleh para kapitalis, dan dengan mudahnya mereka bisa menyabotase industri-industri negara sembari berkoar: "Lihat industri nasional kita di bawah Chavez, semua rusak. Ini membuktikan bahwa nasionalisasi adalah langkah yang salah, ini membuktikan kegagalan sosialisme". Bukankah para oligarki di Venezuela sudah berulang kali menyabotase ekonomi Venezuela? Sabotase industri minyak tahun 2002/2003 yang disertai boss lock-out (mogok bos), kelangkaan bahan makanan, inflasi, dsb. Ini semua adalah sabotase ekonomi yang bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas revolusi Bolivarian dan sosialisme. 

Kita tidak bisa mengkontrol apa yang tidak kita miliki. Apakah seorang buruh pabrik bisa dengan mudah meminta bos pabrik untuk meningkatkan gajinya? Hanya dalam mimpi saja ini terjadi. Kita perlu menasionalisasi seluruh perbankan dan sektor finansial, semua pabrik-pabrik besar, tanah-tanah milik tuan tanah besar, semua di bawah kontrol buruh. Jangan biarkan birokrasi-birokrasi lama menjalankan industri nasional, karena ingat mereka dulunya adalah agen-agen kapitalis, teman minumnya para oligarki lokal. Singkirkan birokrasi ini, bentuk komite-komite pekerja yang akan menjalankan industri nasional secara demokratis dan secara terencana. 

Kita sambut nasionalisasi Bank Venezuela sebagai sebuah langkah maju. Tetapi objektif utama Revolusi Bolivarian masih belum tercapai: mengambil alih kekuatan ekonomi dan politik kaum oligarki dan pembentukan negara pekerja sosialis. 

*Sumber: Venezuela: The nationalisation of Banco de Venezuela oleh Alan Woods, 1 Agustus 2008.



Kekerasan dalam Revolusi

Posted by : Haki Rambu Anarki | Minggu, 07 Maret 2010 | Published in

Kata "revolusi" tidak jarang menimbulkan bayangan atau kekhawatiran yang mengerikan, jangan-jangan pemberontakan rakyat, atau kelas buruh, akan menyebabkan pertumpahan darah secara besar-besaran.

Kekhawatiran ini tentu saja dimanipulasi oleh kaum yang sedang berkuasa untuk menakut-nakuti rakyat agar kita tidak menentang penindasan dan pemerasan. Penguasa tersebut adalah orang munafik yang memang bersedia menggunakan kekerasan untuk menindas rakyatnya sendiri.

Contohnya banyak, termasuk pembantaian buruh di Chile tahun 1974, penyembelihan mahasiswa di Cina tahun 1989, atau peristiwa tahun 1965 di Indonesia. Di Barat, dimana lembaga-lembaga sosial bersifat lebih stabil, kebiadaban serupa lebih jarang terjadi, namun rezim-rezim di barat tak ragu-ragu untuk menyokong pembantaian serupa. Dan di negeri-negeri barat sendiri, kekerasan kadang-kadang juga dipakai tatkala pemerintah kehilangan kontrol atas rakyat.

Namun masalah kekerasan dilontarkan pula oleh banyak aktivis politik, yang betul-betul menginginkan perubahan sosial, tapi yang lebih mementingakan jalan damai. Dialog dengan aktivis ini kami anggap sangatlah penting.

Sistem kapitalis sebenarnya lebih keras daripada revolusi manapun yang dapat kita bayangkan. Setiap hari sebagian besar umat manusia mengalami kelaparan, walaupun ada sumber pangan yang memadai untuk memberi makan semua orang di dunia. Saban hari kapitalisme membunuh kira-kira 50.000 orang. Mereka mati karena kelaparan, atau kecelakaan di tempat kerja, atau karena pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Amerika Serikat, penyakit tbc sedang mewabah di New York, dimana banyak penduduk kulit hitam harapan hidupnya lebih pendek daripada penduduk di beberapa pelosok dunia ketiga.

Kaum sosialis ingin merubah sistem sosial yang penuh dengan kekerasan ini. Itu tidak mungkin terjadi tanpa pemberontakan bersenjata, karena kita sudah tahu dari pengalaman historis bahwa kaum pemilik modal tidak akan bersedia untuk menyerahkan kekayaan dan kekuasaan mereka kepada kelas buruh tanpa perlawanan.

Meski demikian, revolusi sosialis adalah cara yang terbaik untuk menghindari pertumpahan darah secar besar-besaran.

Nota bene, yang dimaksudkan tentu bukanlah revolusi ala Mao Tse-tung atau Pol Pot! Revolusi di Cina dan Kamboja itu sering digembar-geborkan sebagai revolusi "komunis", tapi seperti sudah kami jelaskan dalam kolom-kolom terdahulu, bahwa rezim "komunis" ini sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme negara. Revolusi tersebut berdasarkan perang gerilya yang sangat panjang dan berdarah. Perang gerilya sering didukung oleh kaum sosialis, seperti perjuangan nasional Indonesia tahun 1940-an yang tentu saja patut disokong oleh semua kaum progresif. Namun perang gerilya seperti ini bukanlah strategi Marxis.

Revolusi yang dijalankan oleh kelas buruh selalu berlangsung jauh lebih damai. Misalnya Kumune Paris tahun 1871, Petrograd (Rusia) tahun 1917, Barcelona (Spanyol) tahun 1936, Hongaria tahun 1956, dan Portugal tahun 1974. Di semua kasus ini kematian manusia sangatlah sedikit, sebelum kaum kapitalis melakukan kontra revolusi, ialah serangan balik untuk merebut kekuasaan dari kaum buruh. Kesediaan kelas buruh untuk membela diri memang menyebabkan peperangan yang cukup berdarah. Tapi bukankah kita boleh membela diri? Dan kontrarevolusi bisa juga terjadi setelah perubahan demokratis yang dilaksanakan dengan cara apapun.

Mengapa revolusi buruh berlangsung relatif damai? Kelas buruh memiliki kekuasaan sosial-ekonomi yang luar biasa, karena mereka hidup dan berjuang di jantung proses produksi. Oleh karenanya, kaum buruh mampu untuk membangun organisasi yang kuat, dan secara langsung mampu merebut alat produksi dari tangan kaum kapitalis.

Bahkan angkatan bersenjata susah untuk mengontrol gerakan buruh yang sadar dan militan, karena basis tentara sendiri sebenarnya juga terdiri dan berasal dari masyarakat kecil. Pemberontakan tersebut bukan saja hanya terjadi di jalanan namun juga di tempat kerja yang bisa direbut dan dipakai sebagai pangkalan. Di tempat kerja itu pula kaum buruh dapat mengkonstruksi lembaga demokratis baru untuk menggantikan aparatus negara sebelumnya. Untuk itu kaum buruh harus memiliki senjata untuk membela diri. Namun jika organisasi mereka cukup kuat, bisa jadi kekerasan tidak dibutuhkan sama sekali.

Dalam tulisannya tentang revolusi di Rusia, Trotsky membahas akan fenomena ini secara sangat terperinci:

"Setindak demi setindak kami telah telusuri perkembangan pemberontakan di Oktober 1917: ketidakpuasan massa buruh, kemarahan tentara tingkat bawah terhadap pemerintah, perjuangan kaum tani melawan tuan tanah, serta kepanikan golongan penguasa semakin meningkat ... Sesudah semua itu, adegan final revolusi ini mungkin terasa agak tawar... Boleh jadi pembaca merasa kecewa. Dimana huru haranya?... Kelas borjuis menanti lautan api, perampasan massal, pertumpahan darah dimana-mana. Padahal, yang bercokol adalah suatu kesunyian yang lebih seram buat kaum borjuis daripada segala teror alam ini. Dasar sosial di masyarakat bergeser tanpa bunyi, membawa rakyat ke depan, dan menghanyut serta menghapuskan kaum penguasa lama."

Masalah kekerasan ini penting untuk para aktivis di Indonesia. Dari satu sisi, mereka sering menyangsikan kemungkinan perubahan politik secara damai, lantaran sistem politik Orba begitu represif. Namun dari sisi lainnya, mana bisa mereka melupakan trauma tahun 1965, dengan hancurnya PKI dan pembunuhan massal di mana-mana di Nusantara? Sehingga mereka mencari jalan damai yang sekaligus tidak betul-betul berharap bahwa perubahan damai itu bisa dicapai.

Tetapi PKI itu sebenarnya bukanlah partai marxis (melainkan stalinis), dan strateginya pada tahun 1960-an jauh dari skenario revolusi marxis. Perbedaanya banyak, sehingga tidak bisa dibicarakan secara terperinci di kolom ini. Di sini kami lebih memusatkan perhatian pada masalah strategi pemberontakan saja. Massa Bolshevik waktu itu bersenjata, dan mereka bukanlah pasifis serta tidak menempuh jalan "konstitusional" atau parlementer. Tapi fokus Lenin dan Trotsky juga tidak pada masalah "militer", propaganda mereka tidak menggembar-gemborkan "perjuangan bersenjata" melainkan dengan mengemukakan peranan akan pentingnya mobilisasi massa buruh di tempat-tempat kerja. Ini bukan jalan damai yang mutlak dan sekaligus bukanlah jalan untuk menggunakan kekerasan, melainkan jalan revolusi sosial. Hasilnya, kaum Bolshevik mampu merebut kekuasan secara cukup damai.

PKI bagaimana? Menurut guru besar tentang Indonesia dari Cornell University, Ben Anderson, "PKI bertidak kontradiktif dalam menjalankan strateginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan ... Namun partai yang mengaku Marxis-Leninist ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen." (dikutip dari "Suara Independen", September 1997, hal 11.)

Dan konsekwensinya sudah kita tahu, bahwa jalan "damai" akibatnya pembantaian massal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman yang mengerikan pada tahun 1965 ini adalah justru betapa relevannya pendekatan marxis saat ini.