China-ASEAN (CAFTA)
Mulai 1 Januari 2010, kawasan perdagangan bebas antara China dan ASEAN (free trade area/FTA) mulai berlaku. FTA akan melibatkan enam negara ASEAN, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Pada tahap kedua tahun 2015, FTA melibatkan anggota lain, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Negara-negara ASEAN bertekad merealisasikan kawasan perdagangan bebas dengan Cina pada tahun 2010 untuk ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam) dan 2015 untuk Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. ASEAN juga menyambut komitmen Cina untuk menambah investasinya di ASEAN.
Puncak kesepakatan antara negara-negar ASEAN dan China dilakukan pada pertemuan KTT yang juga dihadiri oleh Perdana Menteri China Jiabao. Dalam pertemuan itu telah disepakati dan diteken secara bersama untuk merealisasikan kawasan perdagangan bebas tahun 2010 seperti yang telah direncanakan selama ini, untuk ASEAN-Cina dan 2015 dengan Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam. Kawasan perdagangan bebas ini termasuk juga pembebasan perdagangan barang-barang. dalam KTT dalam Rangka Peringatan Hubungan Cina-Asean ke-15 di Multifunctional Hall, International Conference Center (ICC) lantai 2, Hotel Liyuan, Kota Nanning, Cina, Senin (30/10/2006).
Dalam pernyataan bersama ini juga disebutkan bahwa ASEAN merasakan dampak yang positif China-Asean Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation yang ditandatangani pada 2002 di Phnom Penh. Pada 2005, volume perdagangan Cina-ASEAN mencapai US$ 130,37 miliar, dengan total volume investasi Asean di Cina mencapai US$ 3,1 miliar dan investasi Cina di ASEAN meningkat mencapai US$ 158 juta. Terkait hal ini, ASEAN menyambut baik komitmen Cina untuk menambah investasi di ASEAN. Pernyataan bersama ini diteken oleh para kepala pemerintahan/negara ASEAN dan PM Cina Jiabao sebelum KTT ini ditutup. Dari ASEAN, penandatangan pernyataan bersama ini adalah Sultan Brunei Darussalam Haji Hassanal Bolkiah, PM Kamboja Hun Sen, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, PM Laos Bouasone Bouphavanh, PM Malaysia Dato’ seri Abdullah Ahmad Badawi, PM Myanmar Jenderal Soe Win, Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, PM Singapura Lee Hsien Loong, dan PM Thailand Jenderal (Purn) Surayud Chulanont.
Lalu benarkah perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China, khususnya Indonesia akan bayak membawa keuntungan dan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia? Menurut RevrisondBaswir, pengamat ekonomi Universitas Gadjahmada, perdagangan bebas Indonesia dalam hal ini termasuk negara ASEAN akan memicu konflik ekonomi politik dalam negeri, akibat muncul persaingan tidak sehat antar pengusaha (unfair competition). Tak hanya bersaing dengan sesama kawan senegara, pengusaha juga dituntut mampu bersaing dengan serbuan berbagai produk dari negara ASEAN khususnya China. Jika tidak mampu, maka imbas negatif akan banyak terjadi pada UKM dan pengusaha.
Disamping faktor serbuan barang-barang dari China akan melemahkan dan merugikan barang da produk dalam negeri, jelas ini akan merugikan para pengusaha loal menegah ke bawah. Ketidaksesuaikan juga terlihat dari sudut pandang konstitusi, ini, terlihat dari implementasi FTA dengan negara-negara lain sebelumnya seperti Jepang, India, dan Selandia Baru yang belum terlihat hasilnya secara nyata dan signifikan saat ini. Masih menurut Ravrisond, terkait kapan dampak ACFTA dapat dilihat dan dirasakan sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2010, Tentunya bukan hanya sekedar meneken saja. Hal tersebut tergantung dari keseriusan dari pihak pemerintah dan pengusaha dalam menjalankannya.
Pendapat yang sama dijelaskan oleh Anwar Suprijadi, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai. Menurut dia adanya perdagangan bebas dengan China, meskipun konsumsi negara bagus, namun produk yang ada di pasar mulai sudah dipenuhi produk luar, dalam hal ini produk China. Ini berarti uang akan terpecah kepada pihak asing. Industri lokal pun mau tak mau akan tergerus dampaknya. perekonomian Indonesia bisa bertahan karena ditopang konsumsi domestik dengan penggunaan produksi yang masih didominasi produk dalam negeri sehingga peredaran uang sepenuhnya ke dalam negeri. Namun, bila konsumsi domestik yang tetap tinggi dan menggunakan barang impor, maka dampaknya jelas berbeda dan akan mengganggu indutri-industri kecil.
Bukan hanya para pengamat ekonomi namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, bahwa pelaksanaan CAFTA itu semakin memperberat tugas tanggung jawab Dirjen Bea Cukai baru. Pelaksanaan FTA yang mengharuskan pegawai menerapkan peraturan baru jelas tidak mudah. Dia mengingatkan, Bea Cukai juga harus mewaspadai perdagangan ilegal. Pasalnya saat ini bukan hanya barang, melainkan manusia pun menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Pernyataan keberatan jauh hari bahkkan mendesak SBY merevisi atas kebijakan perdangan bebas dengan China juga terdengar dari gedung DPR, para wakil rakyat ini mendesak SBY agar agar meninjau dan merevisi terkait perdagangan ASEAN dan China. Peryataan tesebut diungkapkan para pimpinan Komisi VI DPR RI, yakni Ketua Komisi Airlangga Hartarto (F-PG), Wakil Ketau Aria Bima (F-PDIP) dan Nurdin Tampubolon (F-Hanura) masing-masing, Kamis (18/12), di Gedung DPR RI, Senayan. Pimpinan DPR sudah mengirimkan surat itu kepada Presiden Yudhoyono untuk menyampaikan notice kepada pihak China dan anggota Asean sebelum 1 Januari.
Implikasi Dan Solusi
Kerjasama perdagangan Asean dan China sudah diteken dan diberlakukan sejak 1 Januari 2010, Tetapi, mengutuki terus-menerus perdagangan bebas dengan China bukanlah langkah yang bijak. Walau terlambat, tidak usah ragu-ragu untuk menyusun strategi dagang dengan dua cara, yakni defensif dan ofensif. Jika tidak tentunya CAFTA sudah dipastikan memberi efek yang buruk dan menjadi momok menakutkan bagi para industri kecil dan para pekerja industri itu sendiri, karena Pemberlakuan perdagangan bebas regional itu memang mampu membuat volume perdagangan antarnegara meningkat besar. Hal itu karena produk-produk asing yang masuk dan dipastikan dipasarkan dengan harga sangat lebih murah. Sebab, produk-produk asing dibuat dengan menekankan sisi ekonomis, efisien, dan rendahnya biaya produksi, namun dengan kualitas yang lebih baik.
Tetapi di sisi lain pula bisa menimbulkan tekanan negatif bagi sektor-sektor tertentu yang lebih utama ketimbang memanjakan konsumen dengan pilihan yang beragam, yaitu sektor produksi dalam negeri. Seperti diketahui, bahwa produk-produk lokal selama ini cenderung memerlukan biaya produksi lebih besar. Itu masih ditambah biaya-biaya “siluman” yang dipengaruhi oleh political cost dan sebagainya.
Berbagai masalah klasik seperti birokrasi yang tak efisien, korupsi yang masih marak terjadi, upah buruh yang tidak proporsional, rendahnya transparansi dan akuntabilitas anggaran, regulasi yang menghambat iklim investasi, serta kepastian hukum yang lembek harus segera diatasi jika pemerintah benar-benar ingin FTA dengan China berdampak positif bagi pembangunan nasional. Dan berdampak berupa deindustrialisasi itu akan sangat jelas terpampang di depan mata kita. Deindustrialisasi ini menjadi dampak negatif yang harus ditelan Indonesia dari tersepakatinya CAFTA. Deindustrialisasi itu terutama berkaitan dengan tersisihnya peluang produk-produk lokal yang tergantikan dengan produk-produk asing. Apalagi jika ke depan penguatan industri manufaktur tidak berjalan efektif di tengah serbuan barang impor China.
Ancaman pailit bagi pengusaha lokal berarti juga sinyal peringatan bagi jutaan pekerja yang hidup di bawah industri milik para pengusaha. Sementara para pengusaha kelimpungan kesana-kemari menyampaikan keluhan mereka, pemerintah justru terkesan tak acuh dan berlepas tangan melihat ancaman pengangguran yang meningkat, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan tentu saja tingkat kemiskinan yang berlipat akibat kemungkinan deindustrialisasi yang dihadapi oleh para pengusaha gara-gara FTA dengan China ini. Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan makin tampak setelah perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China ini berlaku akibat makin banyaknya industri yang tutup. Dari perspektif ini, Indonesia tidak memiliki pertahanan sama sekali sehingga implementasi CAFTA cenderung merugikan.
Karena itu, pemerintah harus meninjau ulang mengenai kebijakan pelaksanaan FTA ini. Kalaupun tetap akan dilaksanakan, dia menyarankan agar pemerintah menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan itu antara lain aturan nontarif barier, penggunaan bahasa Indonesia untuk produk luar, SNI, dan benar-benar memperhatikan kualitas produk luar yang masuk ke Indonesia. Jika perlu AFTA China-Asean harus ditunda sambil terus memperkuat kemampuan dalam negeri dari segi industri dan infrastrukturnya. Penundaan ini, guna mempertimbangkan industri nasional yang semakin terpuruk.
Sektor pertanian merupakan salah atu sektor yang akan paling terpukul dengan pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas dengan China. Hal itu, lanjutnya, akan merusak kesinambungan program ketahanan pangan dan produk pertanian nasional yang sekarang baru dimulai. Belum dilaksanakan saja produk pertanian dan buah-buahan impor dari China sudah menyerbu pasar Indonesia hingga ke jajanan di atas kereta api.
(0) Comments
Leave a Response