Kata "revolusi" tidak jarang menimbulkan bayangan atau kekhawatiran yang mengerikan, jangan-jangan pemberontakan rakyat, atau kelas buruh, akan menyebabkan pertumpahan darah secara besar-besaran.
Kekhawatiran ini tentu saja dimanipulasi oleh kaum yang sedang berkuasa untuk menakut-nakuti rakyat agar kita tidak menentang penindasan dan pemerasan. Penguasa tersebut adalah orang munafik yang memang bersedia menggunakan kekerasan untuk menindas rakyatnya sendiri.
Contohnya banyak, termasuk pembantaian buruh di Chile tahun 1974, penyembelihan mahasiswa di Cina tahun 1989, atau peristiwa tahun 1965 di Indonesia. Di Barat, dimana lembaga-lembaga sosial bersifat lebih stabil, kebiadaban serupa lebih jarang terjadi, namun rezim-rezim di barat tak ragu-ragu untuk menyokong pembantaian serupa. Dan di negeri-negeri barat sendiri, kekerasan kadang-kadang juga dipakai tatkala pemerintah kehilangan kontrol atas rakyat.
Namun masalah kekerasan dilontarkan pula oleh banyak aktivis politik, yang betul-betul menginginkan perubahan sosial, tapi yang lebih mementingakan jalan damai. Dialog dengan aktivis ini kami anggap sangatlah penting.
Sistem kapitalis sebenarnya lebih keras daripada revolusi manapun yang dapat kita bayangkan. Setiap hari sebagian besar umat manusia mengalami kelaparan, walaupun ada sumber pangan yang memadai untuk memberi makan semua orang di dunia. Saban hari kapitalisme membunuh kira-kira 50.000 orang. Mereka mati karena kelaparan, atau kecelakaan di tempat kerja, atau karena pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Amerika Serikat, penyakit tbc sedang mewabah di New York, dimana banyak penduduk kulit hitam harapan hidupnya lebih pendek daripada penduduk di beberapa pelosok dunia ketiga.
Kaum sosialis ingin merubah sistem sosial yang penuh dengan kekerasan ini. Itu tidak mungkin terjadi tanpa pemberontakan bersenjata, karena kita sudah tahu dari pengalaman historis bahwa kaum pemilik modal tidak akan bersedia untuk menyerahkan kekayaan dan kekuasaan mereka kepada kelas buruh tanpa perlawanan.
Meski demikian, revolusi sosialis adalah cara yang terbaik untuk menghindari pertumpahan darah secar besar-besaran.
Nota bene, yang dimaksudkan tentu bukanlah revolusi ala Mao Tse-tung atau Pol Pot! Revolusi di Cina dan Kamboja itu sering digembar-geborkan sebagai revolusi "komunis", tapi seperti sudah kami jelaskan dalam kolom-kolom terdahulu, bahwa rezim "komunis" ini sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme negara. Revolusi tersebut berdasarkan perang gerilya yang sangat panjang dan berdarah. Perang gerilya sering didukung oleh kaum sosialis, seperti perjuangan nasional Indonesia tahun 1940-an yang tentu saja patut disokong oleh semua kaum progresif. Namun perang gerilya seperti ini bukanlah strategi Marxis.
Revolusi yang dijalankan oleh kelas buruh selalu berlangsung jauh lebih damai. Misalnya Kumune Paris tahun 1871, Petrograd (Rusia) tahun 1917, Barcelona (Spanyol) tahun 1936, Hongaria tahun 1956, dan Portugal tahun 1974. Di semua kasus ini kematian manusia sangatlah sedikit, sebelum kaum kapitalis melakukan kontra revolusi, ialah serangan balik untuk merebut kekuasaan dari kaum buruh. Kesediaan kelas buruh untuk membela diri memang menyebabkan peperangan yang cukup berdarah. Tapi bukankah kita boleh membela diri? Dan kontrarevolusi bisa juga terjadi setelah perubahan demokratis yang dilaksanakan dengan cara apapun.
Mengapa revolusi buruh berlangsung relatif damai? Kelas buruh memiliki kekuasaan sosial-ekonomi yang luar biasa, karena mereka hidup dan berjuang di jantung proses produksi. Oleh karenanya, kaum buruh mampu untuk membangun organisasi yang kuat, dan secara langsung mampu merebut alat produksi dari tangan kaum kapitalis.
Bahkan angkatan bersenjata susah untuk mengontrol gerakan buruh yang sadar dan militan, karena basis tentara sendiri sebenarnya juga terdiri dan berasal dari masyarakat kecil. Pemberontakan tersebut bukan saja hanya terjadi di jalanan namun juga di tempat kerja yang bisa direbut dan dipakai sebagai pangkalan. Di tempat kerja itu pula kaum buruh dapat mengkonstruksi lembaga demokratis baru untuk menggantikan aparatus negara sebelumnya. Untuk itu kaum buruh harus memiliki senjata untuk membela diri. Namun jika organisasi mereka cukup kuat, bisa jadi kekerasan tidak dibutuhkan sama sekali.
Dalam tulisannya tentang revolusi di Rusia, Trotsky membahas akan fenomena ini secara sangat terperinci:
"Setindak demi setindak kami telah telusuri perkembangan pemberontakan di Oktober 1917: ketidakpuasan massa buruh, kemarahan tentara tingkat bawah terhadap pemerintah, perjuangan kaum tani melawan tuan tanah, serta kepanikan golongan penguasa semakin meningkat ... Sesudah semua itu, adegan final revolusi ini mungkin terasa agak tawar... Boleh jadi pembaca merasa kecewa. Dimana huru haranya?... Kelas borjuis menanti lautan api, perampasan massal, pertumpahan darah dimana-mana. Padahal, yang bercokol adalah suatu kesunyian yang lebih seram buat kaum borjuis daripada segala teror alam ini. Dasar sosial di masyarakat bergeser tanpa bunyi, membawa rakyat ke depan, dan menghanyut serta menghapuskan kaum penguasa lama."
Masalah kekerasan ini penting untuk para aktivis di Indonesia. Dari satu sisi, mereka sering menyangsikan kemungkinan perubahan politik secara damai, lantaran sistem politik Orba begitu represif. Namun dari sisi lainnya, mana bisa mereka melupakan trauma tahun 1965, dengan hancurnya PKI dan pembunuhan massal di mana-mana di Nusantara? Sehingga mereka mencari jalan damai yang sekaligus tidak betul-betul berharap bahwa perubahan damai itu bisa dicapai.
Tetapi PKI itu sebenarnya bukanlah partai marxis (melainkan stalinis), dan strateginya pada tahun 1960-an jauh dari skenario revolusi marxis. Perbedaanya banyak, sehingga tidak bisa dibicarakan secara terperinci di kolom ini. Di sini kami lebih memusatkan perhatian pada masalah strategi pemberontakan saja. Massa Bolshevik waktu itu bersenjata, dan mereka bukanlah pasifis serta tidak menempuh jalan "konstitusional" atau parlementer. Tapi fokus Lenin dan Trotsky juga tidak pada masalah "militer", propaganda mereka tidak menggembar-gemborkan "perjuangan bersenjata" melainkan dengan mengemukakan peranan akan pentingnya mobilisasi massa buruh di tempat-tempat kerja. Ini bukan jalan damai yang mutlak dan sekaligus bukanlah jalan untuk menggunakan kekerasan, melainkan jalan revolusi sosial. Hasilnya, kaum Bolshevik mampu merebut kekuasan secara cukup damai.
PKI bagaimana? Menurut guru besar tentang Indonesia dari Cornell University, Ben Anderson, "PKI bertidak kontradiktif dalam menjalankan strateginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan ... Namun partai yang mengaku Marxis-Leninist ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen." (dikutip dari "Suara Independen", September 1997, hal 11.)
Dan konsekwensinya sudah kita tahu, bahwa jalan "damai" akibatnya pembantaian massal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman yang mengerikan pada tahun 1965 ini adalah justru betapa relevannya pendekatan marxis saat ini.
Kekhawatiran ini tentu saja dimanipulasi oleh kaum yang sedang berkuasa untuk menakut-nakuti rakyat agar kita tidak menentang penindasan dan pemerasan. Penguasa tersebut adalah orang munafik yang memang bersedia menggunakan kekerasan untuk menindas rakyatnya sendiri.
Contohnya banyak, termasuk pembantaian buruh di Chile tahun 1974, penyembelihan mahasiswa di Cina tahun 1989, atau peristiwa tahun 1965 di Indonesia. Di Barat, dimana lembaga-lembaga sosial bersifat lebih stabil, kebiadaban serupa lebih jarang terjadi, namun rezim-rezim di barat tak ragu-ragu untuk menyokong pembantaian serupa. Dan di negeri-negeri barat sendiri, kekerasan kadang-kadang juga dipakai tatkala pemerintah kehilangan kontrol atas rakyat.
Namun masalah kekerasan dilontarkan pula oleh banyak aktivis politik, yang betul-betul menginginkan perubahan sosial, tapi yang lebih mementingakan jalan damai. Dialog dengan aktivis ini kami anggap sangatlah penting.
Sistem kapitalis sebenarnya lebih keras daripada revolusi manapun yang dapat kita bayangkan. Setiap hari sebagian besar umat manusia mengalami kelaparan, walaupun ada sumber pangan yang memadai untuk memberi makan semua orang di dunia. Saban hari kapitalisme membunuh kira-kira 50.000 orang. Mereka mati karena kelaparan, atau kecelakaan di tempat kerja, atau karena pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Amerika Serikat, penyakit tbc sedang mewabah di New York, dimana banyak penduduk kulit hitam harapan hidupnya lebih pendek daripada penduduk di beberapa pelosok dunia ketiga.
Kaum sosialis ingin merubah sistem sosial yang penuh dengan kekerasan ini. Itu tidak mungkin terjadi tanpa pemberontakan bersenjata, karena kita sudah tahu dari pengalaman historis bahwa kaum pemilik modal tidak akan bersedia untuk menyerahkan kekayaan dan kekuasaan mereka kepada kelas buruh tanpa perlawanan.
Meski demikian, revolusi sosialis adalah cara yang terbaik untuk menghindari pertumpahan darah secar besar-besaran.
Nota bene, yang dimaksudkan tentu bukanlah revolusi ala Mao Tse-tung atau Pol Pot! Revolusi di Cina dan Kamboja itu sering digembar-geborkan sebagai revolusi "komunis", tapi seperti sudah kami jelaskan dalam kolom-kolom terdahulu, bahwa rezim "komunis" ini sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme negara. Revolusi tersebut berdasarkan perang gerilya yang sangat panjang dan berdarah. Perang gerilya sering didukung oleh kaum sosialis, seperti perjuangan nasional Indonesia tahun 1940-an yang tentu saja patut disokong oleh semua kaum progresif. Namun perang gerilya seperti ini bukanlah strategi Marxis.
Revolusi yang dijalankan oleh kelas buruh selalu berlangsung jauh lebih damai. Misalnya Kumune Paris tahun 1871, Petrograd (Rusia) tahun 1917, Barcelona (Spanyol) tahun 1936, Hongaria tahun 1956, dan Portugal tahun 1974. Di semua kasus ini kematian manusia sangatlah sedikit, sebelum kaum kapitalis melakukan kontra revolusi, ialah serangan balik untuk merebut kekuasaan dari kaum buruh. Kesediaan kelas buruh untuk membela diri memang menyebabkan peperangan yang cukup berdarah. Tapi bukankah kita boleh membela diri? Dan kontrarevolusi bisa juga terjadi setelah perubahan demokratis yang dilaksanakan dengan cara apapun.
Mengapa revolusi buruh berlangsung relatif damai? Kelas buruh memiliki kekuasaan sosial-ekonomi yang luar biasa, karena mereka hidup dan berjuang di jantung proses produksi. Oleh karenanya, kaum buruh mampu untuk membangun organisasi yang kuat, dan secara langsung mampu merebut alat produksi dari tangan kaum kapitalis.
Bahkan angkatan bersenjata susah untuk mengontrol gerakan buruh yang sadar dan militan, karena basis tentara sendiri sebenarnya juga terdiri dan berasal dari masyarakat kecil. Pemberontakan tersebut bukan saja hanya terjadi di jalanan namun juga di tempat kerja yang bisa direbut dan dipakai sebagai pangkalan. Di tempat kerja itu pula kaum buruh dapat mengkonstruksi lembaga demokratis baru untuk menggantikan aparatus negara sebelumnya. Untuk itu kaum buruh harus memiliki senjata untuk membela diri. Namun jika organisasi mereka cukup kuat, bisa jadi kekerasan tidak dibutuhkan sama sekali.
Dalam tulisannya tentang revolusi di Rusia, Trotsky membahas akan fenomena ini secara sangat terperinci:
"Setindak demi setindak kami telah telusuri perkembangan pemberontakan di Oktober 1917: ketidakpuasan massa buruh, kemarahan tentara tingkat bawah terhadap pemerintah, perjuangan kaum tani melawan tuan tanah, serta kepanikan golongan penguasa semakin meningkat ... Sesudah semua itu, adegan final revolusi ini mungkin terasa agak tawar... Boleh jadi pembaca merasa kecewa. Dimana huru haranya?... Kelas borjuis menanti lautan api, perampasan massal, pertumpahan darah dimana-mana. Padahal, yang bercokol adalah suatu kesunyian yang lebih seram buat kaum borjuis daripada segala teror alam ini. Dasar sosial di masyarakat bergeser tanpa bunyi, membawa rakyat ke depan, dan menghanyut serta menghapuskan kaum penguasa lama."
Masalah kekerasan ini penting untuk para aktivis di Indonesia. Dari satu sisi, mereka sering menyangsikan kemungkinan perubahan politik secara damai, lantaran sistem politik Orba begitu represif. Namun dari sisi lainnya, mana bisa mereka melupakan trauma tahun 1965, dengan hancurnya PKI dan pembunuhan massal di mana-mana di Nusantara? Sehingga mereka mencari jalan damai yang sekaligus tidak betul-betul berharap bahwa perubahan damai itu bisa dicapai.
Tetapi PKI itu sebenarnya bukanlah partai marxis (melainkan stalinis), dan strateginya pada tahun 1960-an jauh dari skenario revolusi marxis. Perbedaanya banyak, sehingga tidak bisa dibicarakan secara terperinci di kolom ini. Di sini kami lebih memusatkan perhatian pada masalah strategi pemberontakan saja. Massa Bolshevik waktu itu bersenjata, dan mereka bukanlah pasifis serta tidak menempuh jalan "konstitusional" atau parlementer. Tapi fokus Lenin dan Trotsky juga tidak pada masalah "militer", propaganda mereka tidak menggembar-gemborkan "perjuangan bersenjata" melainkan dengan mengemukakan peranan akan pentingnya mobilisasi massa buruh di tempat-tempat kerja. Ini bukan jalan damai yang mutlak dan sekaligus bukanlah jalan untuk menggunakan kekerasan, melainkan jalan revolusi sosial. Hasilnya, kaum Bolshevik mampu merebut kekuasan secara cukup damai.
PKI bagaimana? Menurut guru besar tentang Indonesia dari Cornell University, Ben Anderson, "PKI bertidak kontradiktif dalam menjalankan strateginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan ... Namun partai yang mengaku Marxis-Leninist ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen." (dikutip dari "Suara Independen", September 1997, hal 11.)
Dan konsekwensinya sudah kita tahu, bahwa jalan "damai" akibatnya pembantaian massal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman yang mengerikan pada tahun 1965 ini adalah justru betapa relevannya pendekatan marxis saat ini.
(0) Comments
Leave a Response