div.fullpost {display:none;} div.fullpost {display:inline;}

Peran dan Posisi Koran Kampus dalam Gerakan Mahasiswa

Posted by : Haki Rambu Anarki | Minggu, 14 Maret 2010 | Published in



Dalam setiap perubahan negeri ini selalu melibatkan pemuda dan mahasiswa. Gerakan-gerakan mereka tak bias pungkiri dan sudah tercatat dalam tinta emas sejaraah. Tentu yang paling dingat adalah gerakan mahasiswa ditahun 1966 yang berhasil menggulingkan orde lama dan gerakan mahasiswa ditahun 1998. Gerakan mejadi seperti momok yang menakutkan bagi penguasa rejim, orde baru sadar betul itu sehingga melahirkan kebijakan NKK/BKK yang melegenda dan efeknya masih terasa sampai sekarang.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana gerakan-gerakan mahasiswa itu muncul, bahkan menjadi massif? Apakah gerakan itu muncul karena sekedar dilandasi keprihatinan pemuda dan mahasiswa saja dengan tiba-tiba? Bisa dikatakan demikian, namun ada yang lebih berperan penting dalam terbangunnya gerakan mahasiswa, yaitu karena suasana intelektualitas mahasiswa yang sering berkumpul dan mendiskusikan segala persoalan dan situasi nasional dan tentunya mereka menuangkan hasil gagasan dan diskusi mereka dalam sebuah wadah sebuah Koran kampus atau biasa disebut pers mahasiswa.

Dua factor itulah, menurut hemat penulis sangan berperan penting dalam kemunculan gerakan-gerakan yang ada di kampus dengan terus menerus melakukan konsolidasi pada akhirnya menjadi sebuah gerakan massif mahasiswa. Namun jika dua hal tadi mati dan tidak ada, tentu juga tidak ada sebuah gerakan mahasiswa.

Pers, yang pernah disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah legislatif, eksekutif dan yudakatif menjadi bagian penting untuk mengontrol tiga pilar. Dari asumsi inilah juga pers kampus ingin terlibat dalam bagian oposisi rejim. Dan selalu meyerukan perlawanan pada rejim yang anti rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populis. Pers mahasiswa sebelumnya pada era orde baru sangatlah minim, toh jika ada isi dan beritanya tidak banyak memberitakan dan mengkritisi kebijakan dan sepak terjang rejim, namun lebih pada seputar kegiatan kampus. Dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK telah banyak mengebiri dan kebebasan pers mahasiswa pada waktu itu. Lalu bagaimana bisa jika tidak ada peran pers kampus, gerakan mahasiswa bisa menjadi massif ditahun 1998, diskusi-diskusi secara sembunyi-sembunyi dan advokasi serta terjun dalam basis-basis rakyat rupanya telah dilakukan para mahasiswa era 1990 – 1998. seperti yang sudah di utarakan oleh penulis di atas.

Pers mahasiswa begitu menjamur ketika reformasi dan sesudahnya. Berkah dari reformasi rupanya telah membuka keran yang selama ini tersumbat. Hampir disetiap kampus baik negeri dan swasta berlomba-lomba untuk mendirikan dan menerbitkan Koran, bulletin, leaflet dan majalah kampus. Isinya tentu sangat bermacam-macam, bahkan lebih cenderung sebagai media propaganda kritik dan perlawanan terhadap rejim serta seruan untk terus meneruskan reformasi yang telah dianggap jalan ditempat. 

Baik dari layout yang sederhana sekedar hasil print dan cetakan photo copy sampai pada terbitan majalah dengan layout yang wah… persma (pers mahasiswa) menjadi kekuatan tersendiri yang independent dalam mengontrol tiga pilar yang lainnya ataupun sekedar kegiatan-kegiatan yang ada di kampus semua menjadi bidikan berita bahkan isu-isu nasional kerap dikabarkan dan dilawan melalui pers mahasiswa.

Namun seiring perjalan, dari generasi ke generasi pers mahasiswa menjadi kkehilangan tajinya dan lebih celakanya diskusi juga pun semakin berkurang, karena terjadi pergeseran gaya hidup mahasiswa yang lebih suka hura-hura dari pada mengasah intelektualitasnnya. Tentu jika dua hal itu hilang dan punah jangan berharap akan muncul sebuah gerakan mahasiswa yang siap berpihak pada rakyat.

Inilah kemudian menjadi tantangan bagi mahasiswa sekarang untuk terus menghidupkan lagi suasana, kekritisan dan kesadaran peran dan posisi penting mahasiswa sebagai agen control dan perubahan yang telah terukir dalam sejarah. Jelas ini tidak mudah, diperlukan kepeloporan dan pelatihan serta diklat pers kampus yang biasanya sering dilakukan oleh senior-senior mereka dahulu. Dan yang tak kalah penting lagi adalah hasil dari pelatihan dan diklat jurnalistik yang pernah diadakan bukan hanya sekedar pelatihan dan diklat saja tapi keberlanjutan untuk menghidupkan lagi pes kampus dengan terbitan-terbitan kampus, tentunya siap ditunggu dan perlu segera direalisasikan.

KAMUS PR (Kesatuan Aksi Mahasiswa Untag ‘1945 Surabaya Pro Rakyat) sebagai salah satu organisasi yang turut serta dalam gerakan mahasiswa reformasi 1998, berupaya keras agar tradisi pers kampus dan diskusi tidak punah. Karena KAMUS PR sebagai organisasi gerakan mahasiswa tentunya tidak menginginkan kepunahan tradisi diskusi dan penerbitan pers kampus akan menjadi efek domino kekritisan mahasiswa juga akan hilang. Ini dibuktikan dengan masih eksistansinya Opzitsii sebagai bulletin propaganda KAMUS PR baik cetak dan online masih ada dan Perma Aufklarung Untag yang notabene didirikan oleh kawan-kawan KAMUS PR telah menunjukan hasil meski segal keterbatasan mulai dari financial dan tenaga kerjanya dirasa kurang, namun KAMUS PR patut bersyukur bahwa eksistansinya tidak ikut terhapus dari kampus. 

Dan untuk langkah selanjutnya, diharapkan akan menjadi massif dan lebih professional dalam kepengurusan dan penerbitannya. Pentingnya media pers tidak terbantahkan lagi, di era transformasi informasi yang begitu cepat media sangat berperan penting dalam kehidupan. Pers sebagai pilar demokrasi keempat sekarang jauh dari harapan rakyat, karena rata-rata lebih pada profit oriented dan pro status quo, lalu harapan satu-satunya tentu pada pers mahasiswa yang masih murni dan berpihak pada rakyat.

Benar adanya, jika pers di Indonesia sekarang lebih bebas dan tidak perlu takut dengan pembredelan ketika era orde baru dulu, namun yang perlu dikritisi bahwa media sekarang lebih banyak pro terhadap pasar dan pemodal. Sedangkan pers dan media yang masih ingin benar-benar ingin konsistensi pada tugas dan fungsinya mulai terancam pada RUU dan UU yang siap menjadi momok yang menakutkan. Lihat saja pada UU No 11/2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 dan 45. kemudian UU No 14/2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam pasal 51 dan 54. Lalu ada UU No 44/2008 tentang Pornografi ( dalam definisi pornografi dalam UU ini sangat lentur) pada pasal 29 yang menyebutkan “ mengancam orang yang memproduksi, memperbanyak, menyebarkan luaskan, menyiarkan dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/ atau denda sedikitnya Rp 250 jta dan paling banyak 6 Miliar). Dan tambahan dari UU No 10/2008 tentang Pemilu dalam pasal 28 dan 99. kesemuanya secara tidak langsung menjadi pengkebiran pers/ baik cetak maupun elektronik nasional, dengan ancaman yang rata-rata sangat berat dan denda yang sangat fantastis. Tentu itu bertujuan untuk membuat kaum jurnalis mati kutu dan bangkrut sehingga akan tutup dengan sendirinya. Inilah yang kemudian rejin SBY-Kalla dan sekarang SBY-Boediono sebagai rejim orde baru jilid II. 

Jika demikian, lalu harapan satu-satunya tentu pada eksistensi pers mahasiswa yang akan selalu senantiasa terdepan dalam control dan oposisi bagi rejim serta sebagai media perlawanan. Apalagi menjamurnya internet telah membuka peluang media yang murah meriah untuk terus mengabarkan dan perlawanan terhadap pemerintah yang anti rakyat. Ini menjadi tugas kita sebagai mahasiswa. Untuk itu mari terus hidupkan pers mahasiswa sebagai pers yang independen dan sebagai kontrol untuk rejim yang semakin hari semakin menunjukan belangnya.  

Amir Baihaqi
Ketua umum KAMUS PR 






(0) Comments

Leave a Response