div.fullpost {display:none;} div.fullpost {display:inline;}

How to Analysis Drama (Play)

Posted by : Haki Rambu Anarki | Jumat, 21 Januari 2011 | Published in

DEFINITION:
The five elements of literature are plot, setting, theme, characterization, and point of view. All fiction includes these elements; however, they become more complex at higher levels.

ELEMENTS OF A STORY

Characterization
Characterization is made up of three elements: appearance, which is the way the character looks; personality, which is the way the character thinks or feels; and behavior, which is the way the character acts and reacts. In any type of story, it is important that readers are able to picture the characters. Character details can take many forms: physical features, clothing, possessions, hobbies, and communication. Paying attention to details can provide a lot of information about what a character is like.

When reading, ask student to:
Draw conclusions about the characters or people in the story by paying attention to what they say, do, think, and feel.
Notice how two characters are alike and how they are different.
Notice how the author uses the character’s behavior to develop a story and to give meaning to the plot.

Setting
Setting includes time and place. Details that describe setting might include weather, time of day, location, landscape, and even furniture. All of these things can contribute to the understanding of a scene.
In most stories, the action changes from one place to another.
Time can be expressed specifically or in general terms, such as the time of day, the time of the year, or a time in the past or future.

Plot
All fictional stories have a plot. Plot is the sequence of events that take place in the story. There are five components to plot:
Central problem or conflict found at the beginning of the story (Man vs. Man, Man vs. Nature, Man vs. Society, Man vs. Self);
Rising action which includes all the events created by the conflict;
Climax, which is the highest point or turning point of the story;
Denouement, or falling action, where the conflict becomes unraveled;
Resolution, where the conflict is resolved (the resolution of a story may have either positive or negative outcomes).

Point of view
Point of view refers to the narrator of the story. The most common points of view are First Person, Third Person Limited, and Third Person Omniscient.
The First Person Narrator is actually a character in the story and is personally affected by plot and setting. First person narrator uses such pronouns as “I,” “We,” “My,” “Our,” in the narrative. (Beware of the use of these words when used in dialogue, as this does not indicate narrator’s point of view).

The Third Person Limited Narrator tells the story and knows everything about the protagonist or main character.

The Third Person Omniscient Narrator knows what all characters, protagonists and antagonists, think, feel, and do.

Theme
Theme is the main message in the story. It is closely related to main idea, but theme usually is more global in scope. Virtually all fiction, and some non-fiction, including novels, short stories, fables, drama, poems, speeches, and essays have themes. Theme contributes an expectation that the reader will learn from the trials and tribulations related through characterization, plot, setting, and point of view.

Realisme Seorang Pramoedya Ananta Toer

Posted by : Haki Rambu Anarki | | Published in

Sebagai salah seorang sastrawan Indonesia, menurut Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang figur transisional. Umurnya di sekitar angka yang sama dengan kebanyakan sastrawan Angkatan 45, tetapi latar belakang pendidikan (di mana ia tidak termasuk yang bersekolah pada sekolah menengah Belanda) dan latar belakang budaya Jawa-nya yang begitu kuat, membuatnya berbeda dengan anggota lain kelompok tersebut. Cerita-cerita yang ia tulis tidak menampakkan tradisi jenaka dan sarkastik sebagaimana Idrus, Balfas, atau Asrul Sani, melainkan justru lurus, serius, dan dengan gaya naratif dramatis. Bahasanya pendek dan penuh sugesti, seperti narasi yang biasa dibawakan seorang dalang pada pertunjukan wayang.

Perihal lain yang khas dan senantiasa menjadi identitas kepengarangannya, Pramoedya sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan. Meski jarang, ia pun menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan.

Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa.

Kegandrungannya terhadap sejarah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: "The people must know their history" (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bias disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah "terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri". Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya sendiri kerap mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah menulis makalah dalam kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia.

Selain oleh Pramoedya, klaim realisme sosialis juga dipergunakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai dasar kreatif mereka. Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.

Novel-novel Gorky bisa dirujuk sebagai awal mula lahirnya genre ini. Triloginya yang meliputi novel-novel Childhood, My Apprenticeship, dan My Universities memiliki unsur-unsur realisme yang cukup kuat dengan sandaran yang bersifat semi-otobiografi. Atau dengan kata-kata Pramoedya, "secara otobiografik melukiskan pukulan-pukulan dan tindasan-tindasan yang diterimanya dari kelas kapitalis-borjuis". Meski demikian, Gorky tidak hanya berhenti pada realitas.

Gorky mengembangkannya ke arah pemaknaan realitas itu sendiri sebagai sebuah proses dialektik untuk menemukan kebenaran. Realitas bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan setitik proses menuju kebenaran. Pramoedya menilai, kematangan realisme sosialis Gorky mencapai puncaknya dalam novel-novel seperti The Artamonovs dan Mother.

Akar realisme

Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer "membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya". Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat marxis.

Filsafat sejarah marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. "Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya".

Dalam definisi Pramoedya, "Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang structural fundamental". Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri.

Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. "Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia". Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.

Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri. "Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya", itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx.

Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.

Seperti awal kelahirannya, masuknya realisme sosialis ke Indonesia tidak pernah diketahui secara pasti kapan pula waktunya. Namun yang jelas, kemunculannya bisa dianggap sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lekra sendiri didirikan atas inisiatif DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta pada 17 Agustus 1950. Dua nama pertama adalah pemimpin teras PKI yang baru dibentuk lagi. Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas.

Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.

Jauh sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai "Bapak Seni Rupa Modern Indonesia" (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan, "Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan." Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).

Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian.Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bias dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan. "Karena, sekalipun pendasaran filsafat teori sudah benar, karena belum adanya tradisi yang cukup lama, memudahkan orang melukiskan atau menggambarkan sesuatu yang menyalahi teori marxis," tulisnya.

Lepas dari itu, komitmen kerakyatan yang mereka bangun tampaknya telah menjadi dasar yang tak pernah hilang dalam perkembangan realisme sosialis Indonesia di kemudian hari, karena landasan inilah yang kelak menjadi alat pemersatu berbagai gaya yang muncul dalam realisme sosialis Indonesia.

Meskipun definisi realisme sosialis semacam itu masih demikian lentur, bisa dicatat sebagai awal mula realisme sosialis muncul sebagai aliran di Indonesia, sampai kemudian lahirlah Lekra. Kelenturan gaya realisme sosialis Lekra bisa dilihat dari tradisi seni rupa mereka, yang menurut Brita L Miklouho-Maklai dalam Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966, berpangkal pada telah adanya berbagai gaya, mulai dari gaya realisme (foto) Soedjojono, bentuk ekspresionis Affandi dan Hendra, ataupun gaya surealistik Harijadi. Pegangan umum yang biasanya digunakan oleh para seniman tersebut adalah prinsip kemanusiaan, keadilan, dan kepekaan terhadap kehidupan rakyat kecil.

Dalam Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang dicuplik dari Mukaddimah tersebut: "Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan…", "Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat", atau "Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam hati manusia…". Seni yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. "Politik sebagai panglima" ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya seni.

Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu) artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi. Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan anatomi orang-orang kota.

Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan "turba" atau turun ke bawah. Pramoedya sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu. Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, dimana seni yang terlibat di dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.

Novel sejarah

Dengan begitu, dalam karya-karya Pramoedya, tradisi realisme tak hanya hadir begitu saja sebagai representasi kenyataan manusia dan masyarakat seutuhnya, atau dalam bentuknya yang semibiografis sebagaimana yang diterapkan oleh Gorky, tetapi juga menjelma dalam genrenya yang baru: novel sejarah.

Dalam studinya mengenai novel sejarah (Eropa), Lukács memperkirakan kebangkitan novel sejarah berawal pada abad kesembilan belas menyusul kejatuhan Napoleon. Memang ada novel sejarah sebelumnya, tetapi selalu dalam bentuk adaptasi sejarah klasik dan mitologi. Sejak masa Napoleon, sejarah tak hanya merupakan sejarah bagi orang besar, tetapi juga merupakan pengalaman sejarah bagi sebuah bangsa hingga ke stratanya yang paling bawah. "Untuk pertama kali mereka mengalami Perancis sebagai negara mereka sendiri, sebagai tanah air yang mereka ciptakan sendiri." Sejak itu pula, dalam sastra, sejarah juga dihadirkan sebagai pengalaman massa. Inilah tren kelahiran novel sejarah yang dimaksud Lukács.

Dalam novel sejarah Sir Walter Scott, Waverley, misalnya, peristiwa Revolusi Perancis menghasilkan transformasi ekonomi dan politik hampir ke seluruh Eropa. Perubahan-perubahan ekonomi politik ini diterjemahkan Scott ke dalam nasib manusia, lebih tepatnya, menukik jauh ke psikologi manusia. "Dalam penggambaran Scott, kebutuhan akan sejarah selalu merupakan sebuah hasil, bukan suatu anggapan; itu merupakan atmosfer tragis dari sebuah periode, dan bukan obyek refleksi seorang penulis," Lukács menyimpulkan.

Dalam novel sejarahnya, Pramoedya juga menampilkan tokoh "orang-orang biasa" (meski dalam Arok Dedes, Pramoedya datang dengan pahlawan istana). Sejarah dilihat secara totalitas dalam Tetralogi Buru, misalnya. Dalam kuartet tersebut, Pramoedya tak hanya menampilkan sosok Minke, sang pengubah sejarah.Sosok pahlawan pengubah sejarah telah hadir dalam roman-roman sejarah bahkan mite-mite klasik, juga dalam tradisi romantik. Akan tetapi, dalam Pramoedya, Tetralogi Buru tak hanya merupakan kisah mengenai Minke, tetapi juga mengenai nasib sebuah bangsa, jika tidak bisa disebut nasib bangsa-bangsa (dalam bagian Anak Semua Bangsa diperlihatkan bahwa pergolakan utama kisah inijuga meliputi kebangkitan nasional di China, semangat Revolusi Perancis, kemenangan Jepang atas Rusia, dan lain sebagainya).

Pengalaman sejarah tak hanya milik Minke, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Mereka semua merasakan "atmosfer tragis dari sebuah periode" sebagaimana diungkapkan Lukács di atas. Ini benar, hampir dalam semua karya Pramoedya, tokoh-tokoh protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Sejarah Pramoedya bukanlah sejarah orang-orang yang menang (kecuali, sekali lagi dalam Arok Dedes). Lihat, misalnya, tokoh Wiranggaleng dalam roman Arus Balik. Juga tokoh Den Hardo dalam roman Perburuan yang, meskipun berhasil melihat kemerdekaan Indonesia yang diidam-idamkannya, harus ditebus dengan sangat mahal oleh kematian kekasihnya di depan mata. Pramoedya sering kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk keadilan dan kebenaran.

* Bentara, Kompas, 5 Agustus 2006
sumber: http://ekakurniawan.com

Analisi Struktural pada Puisi Tobat Karya WS Rendra

Posted by : Haki Rambu Anarki | Kamis, 20 Januari 2011 | Published in


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... . . . . . . . . . . .
A. Pengertian pendekatan struktural................................................................
B. Analisis Puisi Berdasarkan Pendekatan Struktural.....................................
PENUTUP............................................................................... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN

Kritik sastra memiliki peran sebagai jembatan penghubung antara karya sastra dengan masyarakat penikmat sastra. Sumbangan pikiran dan analisis kritikus yang baik bisa menimbulkan minat yang menyala-nyala bagi pembaca-pembaca lain untuk membaca karya sastra tersebut. Kritikus dalam hal ini dapat menjadi pemandu pembaca dalam menikmati karya sastra. Di samping itu, kritik sastra dapat pula dijadikan alat pemandu bakat para penulis muda dan dapat mematangkan penulis yang telah berkarya. Bahkan bagi pengarang. Kritikus dapat menjadi propaganda yang baik untuk karya-karya mereka. Dalam mengembang misinya , para kritikus dituntut memiliki rasa tanggung jawab dan kejujuran dalam mengembangkan profesi dan kejujuran terhadap hati nurani sendiri.

Seorang kritikus tidak akan terbawa hanyut oleh keterpakuannya terhadap apa yang dinikmati dan dihayati atau terbius dan terbuai oleh kesan-kesan belaka sehingga apa yang ditulisnya bukanlah sebuah kritik melainkan rekaman kesan-kesan, atau laporan perjalanan batin di dalam keterbuaiannya dengan kesan-kesan itu. Ia harus memiliki kemampuan nasional berkat pengetahuan dan pengalaman batinnya yang telah diperkaya oleh banyaknya jenis karya yang telah dibacanya dan ditelaahnya. Semakin banyak ia membaca, semakin kaya pula ia dengan pengetahuan dan pengalaman batin, serta semakin tajam pula pengamatan dan kemampuannya merasionalkan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari apa yang dibacanya itu,. Dengan demikian ia dapat menerangkan hakikat karya sastra yang bersangkutan sebagaimana ia dapat menangkap dan merasakannya.

Untuk menunjang ilmu sastra. Kritik sastra berguna pula untuk pengembangan dan pembinaan ilmu sastra (teori sastra). Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur cerita, gaya bahasa teknik penceritaan


dan sebagainya. Dengan demikian ia memberi sumbangan besar kepada para ahli sastra dalam mengembangkan sastra memberi sumbangan pula kepada kritikus yang belum dijelajahi oleh pengarang. Demikian, kritik sastra secara nyata memberi sumbangan pula dalam meningkatkan mutu karya sastrawan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian pendekatan structural

Struktur merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Berikut ini ada beberapa pendapat para ahli mengenai pendekatan struktural, yaitu suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar unsurnya (Fokemma, 1977 : 21). Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan. Sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna intrinsik yang dapat digali dari karya itu sendiri (A. Teew. 1984 : 135)

B. Analisis Puisi Berdasarkan Pendekatan Struktural

Pendekatan Struktural yang dipergunakan, akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap diksi, citraan, bahasa khias, majas, sarana retorika, bait dan baris, nilai bunyi, persajakan, narasi, emosi, dan ide yang digunakan pengarang dalam menulis puisinya. Di bawah ini akan disajikan sebuah puisi yang dianalisis berdasarkanpendekatan struktural.

Puisi
TOBAT

Aku tobat, ya Tuhanku
Tobat atas sebala dosaku
Kacang-kacang berkembang
Daun kobis segar di ladang

Jantungku adalah biji kentang
Digigit oleh tanah
Subur dan menderita
Digigit oleh tanah

Aku tobat, ya Tuhanku
Tobat atas segala dosaku
Burung-burung kecil di belukar
Batang pimping menggeliat

Mulutmu daisi di hutan
Sederhana dan naif sekali
Mulutmu daisi di hutan
Diinjak kaki petani
Aku tobat, ya Tuhanku
Telah kuinjak mulutmu
Dan juga jantungku
(Rendra, Masmur Mawar)

a. Diksi (pilihan kata)

Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca (Fajahono. 1990 : 59)

Dalam puisi “TOBAT” disamping, terdapat beberapa pilihan kata yang digunakan oleh pengarang yang sangat sederhana seperti yang dapat dilihat dalam puisi tersebut. Kata-kata yang digunakan oleh penyair mudah dipahami.

Seperti pada bait I pada baris 1 dan 2
“Aku tobat, ya Tuhanku
Tobat atas sebala dosaku”

Dalam menggunakan kata-kata aku tobat, ya Tuhanku, pembaca akan lebih mudah mengetahui makna sebenarnya dari puisi tersebut, begitu pula pada kata-kata dalam kalimat tobat atas segala dosaku, kata yang digunakan adalah kata dengan makna sebenarnya.
Bait II

“Jantungku adalah biji kentang
Digigit oleh tanah
Subur dan menderita
Digigit oleh tanah”

Kata-kata yang digunakan dalam kalimat puisi di atas menggunakan kata-kata yang mengandung unsur perumpamaan, ini bisa dilihat jelas pada kata “jantungku adalah biji kacang”
Bait III dan Bait IV juga menggunakan kata-kata dengan makna sebenarnya.

b.Pengimajian (citraan)

Pengimajian adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Pada puisi “TOBAT” pengimajian yang digunakan oleh pengarang terdapat pada:
- Citraan Penglihatan terdapat pada bait :


I
: “Kacang-kacang berkembang”

Daun habis segar di ladang
II : “Jantungku adalah biji kentang”
IV : “Telah kuinjak mulutmu”
Dan juga jantungku
- Citraan Pendengaran terdapat pada bait I dan III ;

II : “digigit oleh tanah”
Subur dan menderita
Digigit oleh tanah

IV : “Mulutmu daisi di hutan”
Sederhana dan naif sekali
Mulutmu daisi di hutan

c. Kata Konkret

kata konkret adalah kata-kata yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Pengonkretan kata berhubungan erat dengan pengimajinasian, pengembangan dan pengiasan. Pada puisi “TOBAT” kata konkret terdapat pada bait:
II
: “Jantungku adalah biji kentang”
Di mana penyair di sini menghiaskan bahwa jantungnya disamakan dengan
biji kentang.
II
: “digigit oleh tanah”
Di mana penyair menghiaskan atau mempersamakan tanah dengan manusia
atau hewan yang bisa menggigit sedangkan tanah merupakan benda mati.
d. Bahasa Figuratif (Majas)

Bahasa figuratif atau majas adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang biasa, yakni suara yang langsung mengungkapkan makna.
Pada puisi “TOBAT” majas yang digunakan :
a. Perbandingan. Puisi “TOBAT” tidak mempunyai bahasa figuratif
perbandingan

b. Metafora adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain

tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding.
Pada puisi “TOBAT” metafora terdapat pada :
Bait II : “Jantungku adalah biji kentang”
Di mana dalam puisi ini penyair menyatakan bahwa jantungnya adalah biji
dipersamakan dengan biji kentang.
c. Perumpamaan epos, perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang yaitu
dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut

dalam kalimat atau frase berturut-turut.
“Jantungku adalah kentang”
Digigit oleh tanah
Subur dan menderita
Digigit oleh tanah
d. Personifikasi, kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-

benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia.
Pada puisi “TOBAT” personifikasi terdapat pada bait II
“digigit oleh tanah”
Di mana penyair mempersamakan tanah dengan manusia yang dapat
menggigit padahal tanah itu merupakan benda mati.
e. Verifikasi (rima, ritme dan metrum)
?Rima, pengulangan bunyi dalam puisi
Pada puisi “TOBAT” rima terdapat pada bait I yaitu pengulangan bunyi

ku dan ang.
Aku tobat ya Tuhanku
Tobat atas segala dosaku
Kacang-kacang berkembang
Daun kobis segar di ladang

?Ritma, pengulangan bunyi, kata, frase dan kalimat pada puisi “TOBAT”

ritma terdapat pada bait II dan IV yaitu pengulangan kalimat :
II : “digigit oleh tanah”
IV: “Mulutmu daisi di hutan”
? Metrum, pengulangan tekanan kata yang tetap pada puisi “TOBAT”
metrum tidak terdapat pada puisi tersebut.
f. Tata wajah (Tipografi), bentuk yang khas dari puisi
Pada puisi yang berjudul “TOBAT” mempunyai, tipografi wig zag.
2. Analisis Berdasarkan Struktur Batin
a. Tema, merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair.
Pada puisi “TOBAT” penyair menggunakan tema ketuhanan, karena terdapat
pada
beberapa bait sang penyair mengatakan tobat atau sang penyair ingin
tobat dari
segala apa yang telah dia lakukan.
b. Perasaan (Feeling), suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan dan
harus dihayati oleh pembaca.
Pada puisi “TOBAT” sang penyair merasa sedih karena dalam puisi tersebut
penyair mengungkapkan semua kesalahan yang dia lakukan dan akan bertobat
c. Nada dan Suasana
- Nada, sikap penyair terhadap pembaca
Puisi “TOBAT” sikap penyair terhadap pembaca yaitu : lembut dan halus
karena dia memohon agar tobat yang dilakukan dapat diterima

- Suasana, keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi yaitu : pembaca merasa sedih dan terharu, serta merenungkan semua apa yang dia lakukan sama dengan penyair lakukan.
d. Amanat (pesan)
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya


Pada puisi “TOBAT” amanat yang terkandung yaitu : segala sesuatu yang kita lakukan baik itu yang bermanfaat atau tidak, pastinya kita akan minta ampun kepada Tuhan.


PENUTUP
Kesimpulan

Pendekatan struktural yaitu suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan pada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan di tujukan pula kepada hubungan antara unsurnya (Fokkema, 1977 : 21)

Pendekatan struktural yang dipergunakan akan menghasilkan gambaran yang jelas terhadap diksi, pengimajinasian, kata konkret, bahas figuratif, berifikasi dan tata wajah. Analisis struktural merupakan tugas prioritas atau tugas pendahuluan sebab karya sastra mempunyai kebulatan makna “intrinsik yang dapat digali dari karya itu sendiri.

SAJAK-SAJAK KONTEKSTUAL BUNG HATTA

Posted by : Haki Rambu Anarki | Jumat, 14 Januari 2011 | Published in


Banyak di antaea pemimpin Negara, pejuang dan perintis kemerdekaan kita selain berjiwa politik mereka sebenarnya seniman/sastrawan dalam arti yang sesungguhnya. Pada masa pembuagannya di Flores, bung Karno telah menulis sejumlah tonil yang kemudian dimainkan bersama ana buahnya. Tokoh-tokoh lain seperti Mohammad Yamin, Dr Soetomo, Ki Hadjar Dewantara merupakan sastrawan yang cukup populer.

Tampaknya Bung Hatta juga merupakan penyair yang dikenal lewat lewat beberapa sajaknya yang dimuat di Jong Sumatra dan Pujangga Baru. Tiga sajak yang akan kita bicarakan ini adalah fajar menyingsing (PB,Th VI, No. 10April 1939), Mengapa ….. Hai Bakung (PB, Th. VI, No 10 April 1939) dan Beranta Indera (JS, November 1921), dimuat juga dalam (PB I/4 Oktober 1933). Dua sajaknya di atas ditampilkan dengan menggunakan nama samaran Hasli, dan sajak terakhir menggunakan nama M. Hatta.

Seperti halnya sajak-sajak awal dalam sastra Indonesia sajak-sajak pada masa itu ditulis dengan maksud menggugah semangat perjuangan bangsa. Jiwa sajak yang muncul secara melankolis, melukiskan dunia masa lalu yang gilang gemilang dan dunia yang akan dating dengan keindahan dan harapan yang hanya bias dilukiskan di dalam angan.

Muncullah perlambang Tuhan da alam sebagai symbol hasrat pembebasan, tetapi sifat sajak bukan bersifat memberontak. Sajak-sajak pada masa itu terasa romantis, alam dan Tuhan tempat para penyair melarikan diri sehingga kebebasan dari kungkungan yang terasa membelenggu dapat direntak walaupun dalam hasrat semata.

Sajak-sajak Bung Hatta bias dilihat dari tiga sajak Beranta Indera yang akan menimbulkan inspirasi dan renungan. Dan pada sajak Fajar menyingsing kita akan melihat bagaimana Indonesia baru dan merdeka, lewat keindahan alam dan harapan-harapan yang akan dating. Sedangkan sajak Mengapa… Hai Bakung adalah gambaran bagaimana Indonesia disimbolkan sebagai BAKUNG bagai gadis bermenung dengan segala masalah yang dihadapinya. Berikut adalah tiga sajak-sajaknya:

BERANTARA INDERA

Lihatlah timur indah berwarna
Fajar menyingsing hari pun siang
Syansu memancar sinar yang terang
Khayal tersenyum berpancar indera

Angin sepoi bertiup angkasa
Merembes ke tanah, ranting dihuncang
Margasatwa melompat ke luar sarang
Melihat beranta indera indah semata

Langit lazuardi teranglah sudah
Bintang pun hilang berganti-ganti

Cahaya zuhri mulai muram

Hewan menerima selawat alam
Hati pun girang tiada terperi
Melihat kekayaan subha Allah


FAJAR MENYINGSING

Merah kuning
Terang cahaya
Hening bening
Aneka surya

Lemah lembut
Angi pagi
Lagu bersambut
Merayu hati

Hijau gemilang padi di sawah
Embun berkilau di daun kayu
Lenyap-lenyap hati nan gundah
Sitawar obat sukma nan sayu

Bertambah tinggi wahai syamsu
Makin cuaca alam Ilahi
Bertambah permai alam baharu
Diliput I nur waktu pagi

MENGAPA….. HAI BAKUNG

Mengapa engkau bermenung saja, hai bakung
Adakah yang engkau susahkan
Apakah yang engkau menungkan
Apa yang kurang?
Cukup sudah pemberi alam
Engkau terima siang dan malam

Mengapa engkau bermasygul juga, hai bakung
Dunia yang seindah ini
Tak dapatkah menawarkan hati?
Tegak, hai bakung

Lihat molek kelilingmu
Kau itu semua baharu?

Mengapa engkau tafakur saja, hai bakung
Karena tuanmu hilang saying
Tiada kasih, hilang pandang?

Sedar oh kembang katakana daku, mestika intan
Apa yang engkau menungkan
Tegaklah kembali
Bukankan engkau sunting taman
Mahligai putrid jelita rupawan?